Sukses

JK: Rupiah Melemah, Pendapatan Ekspor RI Bakal Meningkat

Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan, rupiah melemah juga membuat barang impor jadi mahal. Namun, hal itu dapat diatasi dengan produksi dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjelaskan dampak positif dari nilai tukar rupiah melemah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) hingga menyentuh level 14.036. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tertekan dapat dongkrak pendapatan ekspor Indonesia.

"Jadi dengan sedikit pelan-pelan itu rupiah melemah itu berarti pendapatan ekspor kita akan lebih besar dan juga dalam negeri akan menjadi lebih pendapatannya naik," kata JK di Kantornya, Jl Merdeka Utara, Selasa (8/5/2018). 

Di sisi lain, rupiah melemah akan berdampak dengan kenaikan harga-harga bahan baku impor. Akan tetapi, kata Jusuf Kalla hal tersebut bisa diselesaikan dengan mendorong beberapa pihak untuk memproduksi. 

"Di lain pihak memang akan terjadi kenaikan harga-harga yang bahan baku impor, tapi itu bisa diselesaikan dengan mendorong orang untuk produksi dalam akibat impor mahal," papar JK. 

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,  kata JK membuat pemerintah dan Bank Indonesia (BI) agar bisa mengambil langkah cepat. Jadi hal tersebut kata JK adalah tanggung jawab BI dan pemerintah. 

"Dalam hal moneter seperti itu, seperti kita tahu adalah tanggung jawab Bank Indonesia. Bank Indonesia bisa intervensi sehingga jangan tiba-tiba terlalu naik, kalau naik itu pelan-pelan dan juga kemudian sekitar Rp 14 ribu itu tugas BI dan pemerintah sepakat," kata JK.

 

Reporter: Intan Umbari Prihatin

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mau Rupiah Perkasa Lagi? BI dan Pemerintah Harus Lakukan Ini

Sebelumnya, nilai tukar rupiah semakin merosot di kisaran 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) diminta segera menaikkan suku bunga acuan, sementara pemerintah perlu merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ekonom Maybank Indonesia, Juniman menilai, pelemahan rupiah sudah terjadi sejak BI memangkas suku bunga acuan atau 7-day Reverse Repo Rate sebanyak dua kali pada Agustus dan September tahun lalu dari 4,75 persen menjadi 4,25 persen.

"Sejak memotong suku bunga dua kali di tahun lalu, sudah terjadi capital outflow (dana keluar). Rupiah melemah, dan itu artinya investor tidak mau suku bunga rendah," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa 8 Mei 2018.

Sementara tren saat ini, diakui Juniman, negara-negara maju dan berkembang cenderung menaikkan suku bunga acuannya dibanding ke arah menurunkan. Kondisi tersebut berbeda dengan tahun lalu.

"Selisih suku bunga BI dengan suku bunga AS semakin menyempit. Jadi, suka tidak suka, menaikkan suku bunga menjadi pilihan logis buat BI untuk menahan pelemahan rupiah," dia menjelaskan.

Juniman menambahkan, kenaikan suku bunga acuan merupakan instrumen paling efektif menahan mata uang rupiah semakin terpuruk lebih dalam.

"Kalau naik (suku bunga acuan) di bulan ini, maka capital outflow bisa tertahan dan ada peluang rupiah bisa menguat lagi setelah investor sudah price in ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed bulan depan," tuturnya.

Untuk diketahui, BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) tiga bulanan pada 16-17 Mei 2018.

Juniman memperkirakan BI akan menaikkan 7-day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 basis poin pada rapat tersebut. Dia beralasan, interbank rate sudah berada di level 4,5 persen pada satu pekan ini atau di atas suku bunga acuan BI.

"Saya kira gradual (BI naikkan suku bunga) 0,25 basis poin. Karena pasar sudah price in, BI akan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga acuan adalah keputusan paling rasional untuk menahan pelemahan rupiah lebih lanjut," saran dia.

Sementara itu, pemerintah pun diminta tidak berpangku tangan meski kebijakan menstabilkan rupiah merupakan wewenang BI.

Juniman mengharapkan pemerintah segera merevisi APBN 2018. Pasalnya, beberapa asumsi makroekonomi Indonesia tahun ini sudah meleset dari target. Di antaranya nilai tukar rupiah yang dipatok 13.400 per dolar AS, dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) diasumsikan US$ 48 per barel.

"Pemerintah harus revisi APBN 2018 di Juli supaya bujet lebih kredibel karena rupiah dan harga minyak sudah di atas APBN," terangnya.

Dengan demikian, kata Juniman, investor akan kembali melirik Indonesia untuk menanamkan modalnya.

"Kalau bujet kredibel, fiskal jadi lebih baik, investor bisa percaya dan balik lagi ke Indonesia. Jadi sebaiknya revisi supaya kredibel," pintanya.

Dengan dosis kebijakan moneter yang tepat dari BI dan fiskal oleh pemerintah, maka Juniman optimistis mata uang Garuda akan menguat, meski sulit untuk kembali berada di bawah 14.000 per dolar AS.

"Tergantung langkah BI ya. Kalau bisa menaikkan suku bunga acuan, rupiah bisa menguat," paparnya.

Dia memproyeksikan, kurs rupiah masih akan berada di kisaran 14.000 per dolar AS sampai Juni ini.

"Bisa menguat di kuartal III dan IV. Tapi kalau pun melemah, paling banter 14.500 per dolar AS. Tidak akan ke mana-mana lagi," tutup Juniman.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.