Sukses

Pelaku Usaha Pesimistis Industri Rokok Tumbuh Tinggi pada 2018

Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti menuturkan, volume produksi hasil tembakau seperti rokok turun dua persen. Diperkirakan penurunan produksi kembali terjadi pada 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Produsen rokok dalam negeri mengaku masih pesimistis terhadap pertumbuhan industri hasil tembakau (IHT) pada 2018. Lantaran, sejumlah tantangan masih harus dihadapi industri rokok, salah satunya soal cukai.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan, kenaikan cukai rokok pada tahun ini masih memberatkan bagi IHT.

Kenaikan tersebut berdampak langsung terhadap penjualan rokok di dalam negeri dan mengganggu pertumbuhan industri.

"Masih berat, karena cukai naik maka harga jual naik. Dengan kondisi ekonomi seperti ini ya belum bisa menarik. Jadi masih berat," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (3/5/2018).

Dia mengungkapkan, selama beberapa tahun terakhir, volume produksi hasil tembakau seperti rokok turun sebesar dua persen. Penurunan tersebut berpotensi kembali terjadi pada tahun ini.

"Selama beberapa tahun terakhir ada penurunan volume 1-2 persen. (Tahun ini?) Harapannya tidak. Tapi kemungkinan itu bisa saja terjadi kalau keadaan seperti ini," kata dia.

Melihat kondisi industri rokok seperti ini, Muhaimin berharap pemerintah lebih berhati-hati dalam menetapkan kenaikan tarif cukai pada 2019. Menurut dia, selain rokok, masih banyak komoditas lain yang bisa berkontribusi bagi pemasukan negara melalui pengenaan cukai.

"Kami harapan sebenarnya ada cukai dari sektor lain (bukan hanya bergantung pada rokok). Tapi ini pemerintah dan DPR yang memutuskan. Mestinya pemerintah bisa memikirkan hal itu," tutur dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Petani Akui Selama Ini Tembakau Lokal Kalah Saing dengan Impor

Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyambut baik dukungan yang diberikan DPR RI dengan memasukkan masalah perlindungan produk tembakau lokal ke dalam butir rekomendasi di sidang Badan Parlemen Dunia atau Inter-Parliamentary Union (IPU) di Jenewa, Swiss.

Ketua APTI Agus Parmuji mengatakan, dengan hal ini, diharapkan bisa semakin menguatkan perlindungan terhadap tembakau hari produksi petani lokal. Sebab, selama ini tembakau lokal selalu kalah bersaing dengan tembakau impor lantaran adanya kepentingan bisnis asing.

"Faktanya, sejak tahun 2000-an, tembakau kita memang dalam tekanan bisnis asing. Kepentingan bisnis global di sektor tembakau telah merangsek masuk ke Indonesia,” ujar dia di Jakarta, Jumat, 30 Maret 2018.

Dia menyatakan, dengan jumlah penduduk yang padat, Indonesia memang menjadi incaran bisnis dan lahan emas bagi korporasi multinasional penguasa industri rokok dunia. Para investor asing ini melakukan segala cara untuk mencaplok industri rokok nasional.

”Upaya itu diawali dengan kampanye antitembakau dengan dalih kesehatan, lalu berkembang dengan alasan merusak ekonomi, tembakau sebagai gerbang narkoba, hingga memecah belah kesatuan petanitembakau untuk kepentingan penguasaan dagang mereka,” kata dia.

Pergerakan industri rokok asing ini, lanjut Agus, telah menggerus industri rokok keretek, yang merupakan penyerap bahan baku petani lokal. Setelah keretek digerus, satu per satu industri rokok nasional dicaplok oleh industri rokok asing dan sejak itu pula impor tembakau meningkat.

”Ini sangat ironis. Sebagai negara agraris dan penghasil tembakau besar, tapi kenapa Indonesia harus impor," lanjut dia.

Perlawanan terhadap dominasi perusahaan rokok asing kemudian gencar dilakukan. APTI sendiri, kata Agus, sering datang berbondong-bondong menemui pemerintah dan DPR, menuntut penolakan impor tembakau.

"Bukan rahasia, perusahaan asing yang memproduksi rokok putih dalam jumlah besar, hampir sepenuhnya menggunakan bahan baku non-dalam negeri,” ungkap dia.

Selama ini, petani juga telah berusaha mematahkan klaim industri rokok asing yang menyatakan jika tembakau impor tidak dibudidayakan di Indonesia, baik jenis maupun varietasnya, sehingga harus diimpor. "Negeri kita besar, lahannya luas, sehingga apa pun bisa kita lakukan untuk memberdayakan petani asalkan ada niat baik dari para penentu kebijakan," tandas dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.