Sukses

Begini Pedihnya Nasib Pengemudi Ojek Online

Masih banyak kesenjangan relasi yang cukup tinggi antara aplikator dan pengemudi ojek online.

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Kebijakan Sosial Perkumpulan Prakarsa, Eka Afriani Djahmari, mengatakan masih banyak kesenjangan relasi yang cukup tinggi antara pemilik atau penyedia aplikasi dengan pengemudi ojek daring atau ojek online. Salah satunya adalah ojek online sering dianggap sebagai mitra bukan pekerja.

"Konsep hubungan kerja ini praktis membuat perusahaan penyedia aplikasi lolos dari regulasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Status hubungan kerja seperti ini menyebabkan pengemudi tidak bisa menentukan hak-haknya sebagai pekerja," kata Eka saat diskusi di Perkumpulan Prakarsa, di Jakarta, Selasa (10/4/2018).

Dia mengatakan, hubungan kerja berupa mitra untuk pengemudi justru menyebabkan mereka terjebak dalam sektor tenaga kerja informal. Hal itu justru berbalik dengan perusahaan aplikasi yang merupakan pelaku usaha formal.

"Hubungan kerja ini juga menunjukkan perusahaan aplikasi tidak memiliki niat untuk meningkatkan status pengemudinya dari sektor informal ke sektor formal," imbuhnya.

Selain itu, kata Eka, hubungan kemitraan yang diberlakukan oleh perusahaan aplikasi juga akan membuat pengemudi dan keluarga harus mengatasi risiko-risiko yang berhubungan dengan pekerjaannya. Di mana klasifikasi ini membebaskan perusahaan dari kewajiban untuk memenuhi upah minimum, uang lembur, serta jaminan sosial, dan tunjangan hari raya (THR).

Dia mencontohkan, dalam kasus perusahaan Go-Jek, perjanjiannya menjelaskan bahwa perusahaan Go-Jek meminjamkan atribut, seperti helm dan jaket. Jika pengemudi keluar dari kemitraan, maka atribut tersebut harus dikembalikan ke perusahaan.

"Jika hilang atau rusak, driver harus membayar Rp 200 ribu untuk setiap barang yang hilang, padahal dalam perjanjian tidak ada yang menyebutkan bahwa pengemudi harus membayar atribut yang diberikan oleh perusahaan," ucapnya.

Kebijakan yang dibuat oleh perusahaan, menurutnya tidak transparansi. Artinya dibuat sepihak dan tidak transparan oleh perusahaan tanpa ada kesempatan untuk posisi tawar pengemudi ojek sebagaimana pengertian kemitraan, yakni bersifat saling menguntungkan dan posisi setara antara dua pihak.

"Untuk bagi hasil Go-jek pun menerapkan pembagian 80 persen untuk pengemudi dan 20 persen untuk Go-Jek. Sedangkan GrabBike menerapkan 90 persen untuk pengemudi dan 10 persen untuk GrabBike," tandasnya.

 

Reporter : Dwi Aditya Putra

Sumber : Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rekomendasi

Eka mengatakan, untuk mencapai kerja layak bagi pengemudi ojek daring atau ojek online, perlu ada beberapa rekomendasi kebijakan atau tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah ataupun perusahaan aplikasi. Sejauh ini, dia menilai masih banyak pengemudi ojek daring atau online yang belum menikmati kerja layak.

"Pemerintah perlu mengatur sistem hubungan kerja perusahaan aplikasi dan mitra pengemudi ojek daringnya. Bahkan kemunculan bisnis ini telah membentuk sistem kerja jenis baru yang tidak terbayangkan sebelumnya," kata Eka.

Menurutnya, keberadaan Undang-Undang No 13 Tahun 2013 justru tidak dapat menjangkau sistem kerja dalam ojek daring sebab kontrak kerja dalam bentuk kemitraan. Padahal lanjutnya pola kerja pengemudi ojek daring tidak jauh berbeda dengan pekerjaan umum lainnya.

Selain itu, kata Eka perusahaan aplikasi juga perlu dalam memberikan perlindungan kerja bagi pengemudi ojek daring secara menyeluruh. Perlindungan kerja setidaknya mencakup jaminan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS kesehatan.

"Hanya sebesar 23 persen pengemudi ojek daring yang memiliki jaminan kecelakaan, tetapi kepemilikan jaminan tersebut pun berasal dari tempat perusahaan mereka bekerja sebelumnya," imbuhnya.

Di sisi lain, dalam meningkatkan kerja layak kepada ojek daring kata Eka perlu ditingkatkan dari segi pendapatan. Upaya peningkatan bisa dilakukan tidak sebatas pada peningkatan tarif dasar layanan kepada konsumen, tetapi perbaikan skema bagi hasil antara perusahaan aplikasi dan pengemudi ojek daring dapat ditinjau ulang.

Kemudian, lanjut Eka pengemudi ojek darling juga perlu untuk membuat sebuah asosiasi atau sejenisnya secara legal untuk mengakomodasi aspirasi-aspirasi, mengingat sistem hubungan kerja berbentuk mitra mengakibatkan tidak dapat dibentuknya serikat pekerja.

"Keberadaan asosiasi sangat penting memberikan bargaining power para pengemudi dalam sebuah pengambilan keputusan atau kebijakan perusahaan," tandasnya.

Terakhir, kata dia, pemerintah juga perlu merevisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya Pasal 151 dan 152 yang tidak mengklasifikasikan sepeda motor sebagai angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.

"Sehingga dalam hal ini ojek konvensional maupun ojek daring memiliki payung hukum yang kuat," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.