Sukses

Kata Peneliti LIPI soal Aturan Pengupahan

Peneliti ketenagakerjaan Titik Handayani mempersoalkan rumus penghitungan dan penetapan upah minimum provinsi (UMP).

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Ketenegakerjaan, Titik Handayani, mempersoalkan rumus penghitungan dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan.

Dia menilai, penghitungan upah minimum dengan berdasarkan pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional malah menimbulkan ketimpangan.

"Menggunakan pertumbuhan ekonominya dan inflasinya nasional itu enggak adil," ujar dia ketika ditemui, di Gedung LIPI, Jakarta, Senin (26/3).

Ia berpandangan, berbedanya tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi setiap daerah seharusnya diperhatikan dalam proses penetapan UMP.

"Harusnya pakai inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah masing-masing," kata dia.

Selain itu, Titik juga mendorong Pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan para tenaga honorer dengan cara memberikan upah layak atau minimal sesuai UMP.

"Harusnya iya ya (tenaga honorer diberikan gaji sesuai UMP). Masuk kalau di instansi pemerintah. Paling tidak minimum," ujar dia.

Sebelumnya, pemerintah sudah menetapkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan pada Oktober 2015. Sesuai PP Nomor 78 Tahun 2015, kenaikan upah mempertimbangkan laju inflasi dan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan mempertimbangkan dua hal tersebut.

 

Reporter: Wilfridus S.

Sumber: Merdeka.com

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kenaikan Upah Belum Bisa Dorong Daya Beli Masyarakat

Sebelumnya, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,71 persen dinilai tidak akan meningkatkan daya beli masyarakat secara signifikan di 2018.

Sebab, di tahun depan, inflasi diprediksi akan lebih dari 4 persen. Hal tersebut diungkapkan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara.‎

"Dampak ke daya beli tidak signifikan, karena 8,71 persen itu pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Inflasinya saja sudah 3,7 persen. Artinya peningkatan upah riil hanya 5 persen. Jadi tidak terlalu signifikan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin 18 Desember 2017.

Menurut dia, di tahun depan inflasi nasional bisa lebih dari 4 persen. Hal tersebut terjadi jika pemerintah melakukan penyesuaian harga pada sejumlah komponen energi, seperti listrik, BBM dan gas.

"Sehingga kenaikan upah akan tergerus oleh inflasi. Jadi upah riil yang diterima oleh buruh menjadi lebih rendah. Nah, di sini tantanganya," lanjut dia. Sementara di sisi lain, sejak dua tahun terakhir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mulai diterapkan, justru terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja. Dari data BPS, per Agustus 2017 pengangguran mengalami kenaikan sebesar 10 ribu orang.

"Artinya kenaikan upah meski sudah dibatasi, tapi formula itu tidak cocok. Karena dampak kepada daya beli, dampak ke produktivitas tidak meningkat sama sekali," ucap dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.