Sukses

Marak Kecelakaan di Proyek Infrastruktur, Apa Pemicunya?

Kecelakaan kerja bertubi-tubi terjadi di proyek infrastruktur akhir-akhir ini.

Liputan6.com, Jakarta - Kecelakaan kerja bertubi-tubi terjadi di proyek infrastruktur akhir-akhir ini. Maraknya kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan besar, alih-alih mengejar target penyelesaian pembangunan, keselamatan dan nyawa jadi taruhannya.

Pengamat Infrastruktur dari Universitas Indonesia (UI), Wicaksono Adi mengamati peristiwa kecelakaan kerja pada proyek infrastruktur yang sering terjadi belakangan ini lebih karena masalah Standar Operasional Prosedur (SOP).

Menurutnya, setiap proyek konstruksi sudah ada SOP, baik untuk pemasangan, pengoperasian, dan pembongkaran alat. Itu masuk di Safety and Houskeeping atau Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) proyek.

"Selama aturan K3 proyek ditegakkan dengan baik, mestinya tidak terjadi (kecelakaan). Jadi pengamatan saya sebenarnya lebih kepada persoalan SOP," tegas Wicaksono saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (4/2/2018).

Lebih jauh dijelaskannya, penegakkan K3 pada proyek konstruksi tidak hanya menyangkut prosedur bongkar muat alat berat saja. Akan tetapi juga menyangkut kontrol atas kondisi alat-alat tersebut.

"Alat-alat berat di konstruksi itu ada semacam catatan historisnya, ini kapan dibuat, sudah mengalami perbaikan apa saja, minor atau major, dan juga manual. Selama ini dijalankan, mestinya tidak terjadi (kecelakaan)," dia menambahkan.

Wicaksono menduga ada pelanggaran SOP sehingga terjadi kecelakaan kerja di pembangunan proyek. "Perkiraan saya seperti itu (ada pelanggaran SOP). Kenapa demikian? Itu perlu digali lebih jauh," ujarnya.

Untuk diketahui, kejadian kecelakaan di proyek konstruksi hari ini adalah jatuhnya bantalan rel dari alat berat crane di proyek double-double track, Jatinegara. Peristiwa itu memakan empat korban tewas.

Dari analisisnya, Wicaksono memperkirakan bantalan rel di crane jatuh karena joint (sambungan) tidak terpasang dengan baik. Selain itu, diperkirakan ada kerusakan atau keausan di area sambungan pada alat atau crane tersebut.

"Bisa jadi karena kekhilafan atau tidak sengaja, yang harusnya dipasang, tapi tidak ada petugas yang ngecek sebelum dioperasikan, maka terjadi kegagalan, dan akhirnya terjadi kecelakaan," tutur Wicaksono.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

K3 sangat krusial

Di samping karena masalah SOP, dia menyebut, kecelakaan kerja di proyek pembangunan bisa terjadi karena kekurangan tenaga K3.  Wicaksono menambahkan, karena kebutuhan di lapangan yang tinggi, sementara suplai tidak mampu mencukupi, akhirnya sering terjadi rangkap tugas.

"Kebutuhan tenaga K3 di proyek tinggi, tapi pengalamannya seringkali kerepotan mencari, sehingga terjadi rangkap tugas. Misalnya saya ini orang operasional, yang diburu waktu tapi mesti ada yang ngerem, yakni tenaga K3," paparnya.

Menurut dia, K3 pada proyek konstruksi sangat krusial. Sayangnya pemikiran pentingnya K3 masih sangat kurang di Indonesia, sehingga perlu ditingkatkan. Sebab K3, diakui Wicaksono baru akan terasa ketika sudah terjadi kecelakaan.

"Kalau tidak dikontrol tim K3, bisa jadi ada yang ceroboh di proyek. Misalnya kemarin girder jatuh di tol, itu lebih ke arah sana. Ibaratnya yang nyemprit atau memberikan kartu kuning tidak ada," Wicaksono menjelaskan.

3 dari 3 halaman

Salah Siapa?

Wicaksono menuturkan, secara umum mekanisme koordinasi konstruksi sebuah proyek biasanya dari pemilik proyek akan mendelegasikan pelaksanaan proyek kepada kontraktor.

Sementara fungsi pengawasan dan manajemen proyek, termasuk progres atau kemajuannya didelegasikan kepada konsultan manajemen proyek.

"Kontraktor tidak akan berani melakukan pekerjaan tanpa persetujuan konsultan manajemen proyek. Artinya jika kontraktor melakukan pekerjaan, bisa disimpulkan sudah ada izin manajemen proyek," tegasnya.

Dalam kasus crane jatuh contohnya, diakui Wicaksono, perlu diselidiki keterlibatan konsultan manajemen proyek. Pasalnya, dia bilang, pasti ada dokumen persetujuan pekerjaan dari konsultan kepada kontraktor. Dokumen tersebut bisa menjadi bukti.

"Crane jatuh ini kan memakan korban, ada unsur pidana, jadi aparat berwajib menyelidiki. Pembuktiannya bisa melalui lembar-lembar approval, apakah konsultan manajemen proyek menyetujui atau tidak. Bisa jadi konsultan tidak setuju, tapi kontraktor nekad," paparnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.