Sukses

Pertamina Minta Harga BBM Naik, Ini Jawaban Sri Mulyani

Menteri Sri Mulyani menuturkan, penyesuaian harga BBM perlu didiskusikan dengan kementerian terkait.

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) meminta pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya Premium dan Solar seiring dengan peningkatan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Kenaikan harga tersebut juga perlu dilakukan mengingat ada potensi perusahaan kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun.

Menanggapi permintaan itu, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengaku belum dapat memastikannya. Lantaran menaikkan harga BBM perlu konsultasi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Nanti saya lihat keseluruhan. Kalau itu permintaan Pertamina, saya lihat suratnya kalau sudah sampai ke saya, fakta-fakta yang mendukungnya. Dan dikonsultasi dengan Menteri ESDM dan bicara dengan Menteri BUMN," ujar Sri Mulyani di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (4/12/2017).

Ditanya lebih jauh apakah surat permintaan kenaikan harga BBM dari Pertamina sudah masuk ke mejanya, Sri Mulyani tidak menjawabnya.

Sekretaris Perusahaan Pertamina, Syahrial Mukhtar pernah mengungkapkan, selepas rezim subsidi BBM berakhir, pemerintah mengelompokkan BBM menjadi tiga bagian, yakni pertama, Jenis BBM Tertentu (JBT) terdiri dari minyak tanah (subsidi penuh) dan Solar (subsidi tetap Rp 500 per liter).

Kedua, Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), yakni BBM jenis Premium di luar Jawa, Madura, Bali (Jamali) dengan harga diatur pemerintah sesuai harga pasar dan dievaluasi per tiga bulan. Ketiga, Jenis BBM Umum (JBU) meliputi BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, Pertalite, dan lainnya.

"Sejak itu (pengelompokan) diterapkan 2015, sejak akhir 2016 sampai sekarang harga jual JBKP dan JBT tidak disesuaikan pemerintah," tegas Syahrial saat berkunjung ke kantor Liputan6.com, Jakarta, Selasa 28 November 2017.

Sementara harga minyak dunia, ia mengakui, terus merangkak naik sehingga semestinya diikuti dengan kenaikan harga BBM Premium dan Solar. Untuk diketahui, harga jual Premium saat ini Rp 6.450 per liter (di luar Jamali) dan Solar Rp 5.150 per liter. Sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah naik 30 persen sepanjang sembilan bulan ini.

"Kebayangkan selisihnya ditanggung Pertamina. Jadi sebenarnya masih ada subsidi pemerintah untuk Premium melalui Pertamina. Itu pakai uang kami semua," tutur Syahrial.

Dia menjelaskan potensi pendapatan Pertamina yang tersedot dari kenaikan harga minyak tanpa diiringi dengan kenaikan harga BBM mencapai Rp 19 triliun hingga kuartal III ini.

"Tapi Rp 19 triliun itu bukan rugi, melainkan potensi kehilangan pendapatan. Karena sampai kuartal III ini, kami masih untung (laba bersih) US$ 1,99 miliar. Kalau harga (BBM) disesuaikan, pasti pendapatan dan laba bertambah," tutur dia.

Menurut Syahrial, pendapatan dan laba penting mengingat perusahaan tengah membutuhkan investasi sangat besar. Dari catatannya, total kebutuhan pendanaan Pertamina mencapai US$ 119 miliar hingga 2025. Untuk investasi di hilir, diperkirakan mencapai US$ 40 miliar, salah satunya membangun kilang minyak untuk memproduksi BBM.

"Kilang minyak di Balikpapan contohnya yang mau groundbreaking, itu saja menyedot US$ 5,8 miliar atau Rp 70 triliun. Butuh duit banyak kan Pertamina, jadi pendapatan itu bisa digunakan untuk leverage pendanaan yang lebih besar," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pertamina Berpotensi Kehilangan Pendapatan Rp 19 Triliun

Sebelumnya PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Penyebabnya kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.

Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, ‎dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) ‎naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.

Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM. "Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan," ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis 2 November 2017.

Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.

"Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan," kata dia.

Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.

Namun laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini turun dibandingkan periode yang sama di 2016. Hingga September 2017, perusahaan plat‎ merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.

"Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar)," jelas dia.

Meski mengalami kehilangan potensi pendapatan dan penurunan laba, namun Elia mengaku tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, apa yang dijalankan Pertamina selama ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

"Tapi it's okay. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Konsumen dapat harga BBM yang lebih murah. Masalah harga banyak kan selama ini, ini ditentukan oleh pemerintah. Kedua, Pertamina kan sebenarnya milik pemerintah 100 persen," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.