Sukses

DJP Akui Surat untuk WNI yang Beli Jam Mewah di Belanda Bocor

DJP mengakui surat klarifikasi untuk Wajib Pajak berinisial FY telah bocor ke publik

Liputan6.com, Jakarta Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Utara I mengakui bahwa surat nomor SP2DK-143/WPJ.01/KP.06/2017 tertanggal 24 November 2017 untuk Wajib Pajak (WP) berinisial FY telah bocor ke publik. Surat tersebut meminta penjelasan atau klarifikasi atas pembelian tangan mewah seharga EUR 23.850 atau Rp 342.564.467 di Belanda.

"Ya, kami mengeluarkan surat kepada WP berinisial FY untuk meminta klarifikasi atas pembelian jam tangan mewah," kata Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Sumut I, Dwi Akhmad Suryadidjaya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (27/11/2017).

Pria yang akrab disapa Adji ini menegaskan bahwa surat klarifikasi itu bisa beredar luas di publik lantaran ada yang menyebarluaskan alias bocor. "Surat itu bocor dan ini pun sebenarnya tidak boleh. Kami tidak tahu kenapa bisa bocor," ujar dia.

Adji meyakini bahwa bukan internal DJP, termasuk Kanwil DJP Sumatera Utara I maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Kota yang membocorkan surat tersebut. Alasannya, ada ancaman hukuman pidana bagi pegawai DJP yang membocorkan data atau informasi WP.

Hukuman itu diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 41 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pasal 34 mengatakan, setiap petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan wajib seperti Surat Pemberitahuan (SPT), laporan keuangan dan lain-lain.

Sedangkan Pasal 41 mengatur bagi pejabat karena kealpaannya tidak memnuhi kewajiban merahasiakan hal tersebut, dapat dipidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 4 juta. Sedangkan pejabat yang dengan sengaja pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 10 juta.

"Kami sudah cek dan meneliti kepada yang menangani masalah itu, kami mintai keterangan, data (surat) itu bukan dari kami. Kami yakin bukan dari internal kami, karena kami diancam dengan pidana kalau membocorkan menyangkut kerahasiaan WP yang bukan untuk publik," tegas Adji.

Saat ditanyakan lebih jauh mengenai pihak yang membocorkan surat tersebut, Adji enggan berspekulasi. "Kami tidak bisa menuduh. Yang pasti sudah kami cek bukan dari internal," kata dia.

 

Tonton Video Pilihan di Bawah ini

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Akan Gaduh

Dia pun menilai, kebocoran surat klarifikasi untuk WP berinisial FY yang membeli jam tangan mewah di Belanda tidak akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

"Tidak ya, karena ini hal yang wajar, kami minta klarifikasi ke WP. Sudah jutaan surat klarifikasi kami keluarkan dan WP boleh melakukan pembelaan. Kalau belanjaannya sudah masuk di SPT, bayar pajak sesuai dengan penghasilannya, tidak perlu khawatir," papar Adji.

Untuk diketahui, surat yang beredar luas bernomor SP2DK-143/WPJ.01/KP.06/2017 tertanggal 24 November 2017. Surat itu ditujukan untuk WP berinisial FY.

Dari tiga poin yang ada dalam surat itu, salah satunya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Kota yang berada di Kanwil DJP Sumut I menyampaikan, berdasarkan penelitian terhadap data atau keterangan tahun pajak 2016 yang kami miliki, ketahui bahwa:

- Saudara melakukan pembelian jam tangan secara tunai senilai EUR 23.850 atau Rp 342.564.467 dan meminta pengembalian Value Added Tax (VAT) secara tunai kepada pihak Bea Cukai Bandara Schipol Belanda senilai EUR 2.385 atau Rp 34.256.447.

"Kami minta klarifikasi, ini hal wajar. Semua otoritas perpajakan seluruh dunia sudah komitmen implementasi AEoI (pertukaran data otomatis), jadi WP di manapun tidak bisa lari dari kewajibannya," jelas Adji.

Adji lebih jauh menuturkan, DJP memberikan waktu 14 hari setelah tanggal surat dikirim bagi FY untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi beserta bukti pendukung atas data atau keterangan yang dimaksud (pembelian jam tangan) secara langsung ataupun tertulis kepada DJP.

"Kami kasih waktu 14 hari untk datang dan klarifikasi. Sampai hari ini sepertinya belum (penjelasan)," tegasnya.

Adji mengaku, DJP akan menunggu sampai waktu 14 hari. Setelah itu, sambungnya, jika tidak ada tindakan lanjutan dari WP atau WP tidak dapat memberikan penjelasan maupun bukti pendukung, maka akan diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).

"Nanti diujinya melalui pemeriksaan. Tapi kalau ada jawaban diserta bukti-bukti, sudah dilaporkan ke Surat Pemberitahuan (SPT), bayar pajak, dan sesuai penghasilan, ya sudah clear. Karena tujuan kami ingin menguji (kepatuhan) saja," pungkas dia. (Fik/Nur)

 

3 dari 3 halaman

7 Wajib Pajak Sembunyikan Harta dan Kurang Bayar Pajak Rp 5,7 M

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengaku telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada tujuh Wajib Pajak (WP) yang belum ikut program pengampunan pajak (tax amnesty). Ketujuh WP ini terbukti memiliki harta kekayaan yang tidak dilaporkan dengan kekurangan bayar pajak senilai Rp 5,7 miliar.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas), Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, tindak lanjut setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 terbit pada September 2017, Ditjen Pajak fokus pada WP yang tidak ikut tax amnesty.

"Sudah ada data 770 ribu WP yang masuk. Hartanya mobil, rumah, dan lainnya. Lalu kami cek, kok tidak ikut tax amnesty," ujarnya saat acara Media Gathering di The Lagoon Hotel, Manado, Sulawesi Utara, Rabu malam (22/11/2017).

Dari 770 ribu WP yang ditindaklanjuti, lanjut Hestu Yoga, data harta kekayaan atas 27.777 WP sudah dikirimkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kemudian sebanyak data 6.830 WP sudah diteliti dan sudah sampai kesimpulan pada data valid atau tidak.

"Sampai hari ini sudah ada instruksi pemeriksaan atas 951 WP karena data valid. KPP meminta izin pemeriksaan kepada Kantor Wilayah (Kanwil)," jelas dia.

Hestu Yoga menambahkan, Ditjen Pajak sudah menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) sebanyak 811 WP. "Selanjutnya sebanyak 68 laporan sudah selesai hasil pemeriksannya. Kemudian kami terbitkan SKPKB atas tujuh WP yang nilainya lumayan Rp 5,7 miliar," dia menerangkan.

Sayangnya, dia mengaku tidak tahu apa saja harta dari tujuh WP yang belum dilaporkan. Diakui Hestu Yoga, upaya ini menunjukkan konsistensi Ditjen Pajak untuk menjalankan penegakan hukum setelah tax amnesty dan Peraturan Pemerintah (PP) 36 Tahun 2017 terbit.

PP ini mengatur Pajak Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan, sepanjang Ditjen Pajak belum melakukan pemeriksaan.

"Kami konsisten melakukan penegakan hukum. Prioritas kami memang yang tidak ikut tax amnesty," tegasnya.

Dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), artinya ketujuh WP tersebut harus membayar tarif PPh normal plus sanksi administrasi bunga 2 persen per bulan maksimal 24 bulan. Tarif PPh normal sesuai PP 36/2017, yaitu untuk WP Orang Pribadi dipungut PPh Final 30 persen, WP Badan Usaha 25 persen, dan WP tertentu sebesar 12,5 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.