Sukses

Ada yang Tolak Bayar Tol Pakai E-Money, Ini Kata Jokowi

Kewajiban penggunaan uang elektronik di jalan tol melanggar Undang-Undang Mata Uang.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menetapkan bahwa per 31 Oktober 2017 seluruh gardu tol akan melayani pembayaran dengan menggunakan uang elektronik (e-money). Elektronifikasipembayaran di jalan tol ini memberikan banyak dampak positif. Pertama, dengan membayar dengan menggunakan uang elektronik bisa mengurangi kemacetan di pintu tol. Kedua, pembayaran dengan uang elektronik juga bisa mengurangi risiko korupsi. 

Sayangnya, ada beberapa pihak yang menolak penetapan tersebut. Bahkan sampai ada pihak yang mengadu kepada Ombudsman. Menanggapi hal tersebut, Presiden RI Joko Widodo menganggap penolakan sebagai hal yang biasa dalam menjalankan suatu kebijakan.

"E-Toll itu untuk apa sih, itu kan untuk perbaiki layanan. Kita ingin melancarkan di pintu-pintu tol itu biar cepat dan tidak macet," tegas Jokowi, seperti ditulis sabtu (14/10/2017).

Dia menjelaskan, saat ini dalam pelayanan jalan tol, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Upaya elektronifikasi jalan tol ini juga sebagai wujud dari sebuah pelayanan publik yang harus disesuaikan dengan teknologi. Jika hal itu tidak dilakukan saat ini, dipastikan Indonesia akan semakin tertinggal.

"Negara lain semuanya udah pake masa kita masih cash. Akurasi pembayaran juga semakin jelas. Apa kita mau cash terus?" ujarnya.

Untuk terus mengawal pelaksanaan kebijakan ini, Jokowi mengaku memerintahkan kepada seluruh pihak terkait untuk terus melakukan sosialisasi. Diakui, memang belum semua pengguna jalan tol di Indonesia paham dan sadar akan pentingnya transaksi menggunakan uang elektronik.

Sebelumnya, pengacara David Maruhum L Tobing menganggap, kewajiban penggunaan uang elektronik di jalan tol melanggar Undang-Undang Mata Uang. Hal ini karena gardu tol hanya akan melayani pembayaran dengan menggunakan e-money pada 2018.

David menjelaskan dugaan pelanggaran UU Mata Uang tersebut berdasarkan Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2) UU No 7 Tahun 2011.

"Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksud sebagai pembayaran, baik uang logam maupun kertas. Dan ini patut diduga sebagai tindak pidana," kata David di Kantor Ombudsman RI.

Dia menambahkan, jika UU tersebut dilanggar, maka dapat diancam pidana paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.