Sukses

Usul DPR bila Freeport Tak Patuh Divestasi Saham

DPR menanggapi sikap Freeport McMoran Inc terhadap posisi Pemerintah dalam hal pelepasan saham (divestasi).

Liputan6.com, Jakarta - DPR menanggapi sikap Freeport McMoran Inc terhadap posisi Pemerintah dalam hal pelepasan saham (divestasi). Jika perusahaan tersebut tidak menyetujui posisi tersebut, disarankan masa operasi Freeport Indonesia setelah kontrak habis pada 2021 tidak perlu diperpanjang.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya‎ Widyayudha mengatakan, untuk divestasi pemerintah harus mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara (minerba).

"Harus mengacu ke pada 2 aturan hukum tersebut," kata Satya, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Senin (2/10/2017).

Satya mengungkapkan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, pemerintah telah memberikan kemudahan ke Freeport, karena ‎perusahaan tersebut masih diberikan kesempatan memiliki saham dan diberikan perpanjangan masa 2X10 tahun. Serta diberi kesempatan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian ‎mineral (smelter).

Satya menuturkan, jika kemudahan tersebut tidak di‎sambut baik Freeport, pemerintah bisa tidak memperpanjang setelah masa operasinya habis pada 2021.

"Niat baik Freeport yang diperlukan, mereka serius atau tidak," ujar dia.

‎Terkait dengan skema pelepasan saham, Satya berpendapat tidak bisa dilakukan dengan melepas saham melalui pasar bursa atau Initial Public Offering (IPO), karena saham tersebut akan bebas dimiliki siapa pun. Padahal berdasarkan targetnya pemilik saham tersebut adalah pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun pihak nasional.

"Divestasi tidak sama dengan IPO, itu harus digarisbawahi, kalau IPO itu bebas,"‎ ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Surat Freeport

CEO Freeport McMoran Inc Richard Adkerson melayangkan surat ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu)‎ mengenai tanggapan atas posisi pemerintah terkait pelepasan saham (divestasi) menjadi 51 persen ke pihak nasional.

Seperti yang dikutip dari surat Adkerson yang ditujukan ke Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto, di Jakarta, Jumat 29 September 2017.

‎Adkerson mengatakan, telah menerima posisi pemerintah terkait dengan divestasi. Dalam surat yang dibuatnya pada 28 September 2017 tersebut, dia ‎menyatakan ketidaksepakatan pada posisi pemerintah.

"Kami sangat tidak setuju dengan pernyataan yang termasuk dalam dokumen dan kirimkan tanggapan dan klarifikasi atas ketidakakuratan yang ada di dalamnya," kata Adkeserson, seperti yang dikuti dalam surat tersebut.

Posisi pemerintah adalah, divestasi saham hingga 51 persen, diselesaikan paling lambat 31 Desember 2018. Sementara berdasarkan Pasal 24 angka 2 Kontrak Karya (KK) saham tersebut divestasi sampai kepemilikan peserta Indonesia mencapai 51 persen‎ seharusnya sudah selesai pada 2011. Oleh karena itu, pelaksanaannya divestasi merupakan implementasi atas kewajiban divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI).

Pemerintah Indonesia memiliki kapasitas keuangan untuk mengambil alih semua saham divestasi. Dalam periode, estimasi yang diusulkan paling lambat sampai akhir 2018.

Sedangkan tanggapan Freeport terhadap Posisi Pemerintah adalah, Freeport telah sepakat untuk mendiskusikan dengan pemerintah mengenai waktu penyelesaiannya divestasi, Freeport telah mengusulkan agar divestasi awal berlangsung sesegera mungkin, melalui IPO dan divestasi penuh berlangsung bertahap dalam jangka waktu yang sama dengan yang ditentukan pemerinta‎h.

Kedua, tidak ada kewajiban divestasi saat ini di bawah Kontrak Karya PTFI. Pada pasal 24 menunjukkan, jika setelah penandatanganan perjanjian ini, maka undang-undang, peraturan atau kebijakan yang efektif, tidak memberatkan‎ persyaratan divestasi dari yang kurang memberatkan untuk para pihak dalam hal ini persetujuan.

Freeport menerapkan persyaratan divestasi yang kurang memberatkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang merevisi persyaratannya untuk kepemilikan Indonesia sampai 5 persen (dikonfirmasi dengan surat BKPM tertanggal 20 Maret 1997). GR 20/1994 kemudian dimodifikasi agar memungkinkan untuk 100 persen kepemilikan asing.

Dalam surat tersebut, ‎F‎reeport juga menolak perhitungan divestasi pemerintah. Pemerintah memiliki posisi hitungan nilai saham 51 persen berdasarkan perhitungan manfaat kegiatan usaha pertambangan sampai 2021 saja, sesuai dengan berakhirnya Kontrak Karya (KK).‎

Setelah 2021 mendapat nilai manfaat, perpanjangan sampai 2031 akan dinikmati saling menguntungkan oleh pemegang saham. Dalam tanggapannya, Adkerson mengatakan, Freeport telah dengan gigih mempertahankan setiap divestasi harus mencerminkan nilai pasar sampai tahun 2041, perhitungan nilai dengan menggunakan standar internasional.

Freeport memiliki hak kontrak untuk beroperasi sampai tahun 2041. Pasal 31 KK menyatakan "Perjanjian ini harus memiliki jangka waktu awal 30 tahun sejak tanggal tersebut penandatanganan persetujuan ini, dengan ketentuan bahwa perusahaan akan menjadi berhak mengajukan permohonan perpanjangan dua tahun berturut-turut dari istilah tersebut, tunduk pada persetujuan pemerintah Pemerintah tidak akan masuk akal menahan atau menunda persetujuan tersebut. Permohonan semacam itu oleh Perusahaan mungkindibuat setiap saat."

Posisi pemerintah berikutnya adalah, divestasi dilakukan dengan menerbitkan saham baru (right issue) oleh PTFI yang seluruhnya akan diambil alih oleh peserta Indonesia. Hali ini mengacu pada Kontrak Karya Pasal 24 ayat 2.e divestasi dapat dilakukan dengan penerbitan saham baru.

Namun, keinginan tersebut tidak disetujui. Adkeron dalam suratnya menulis, Freeport akan melakukan divestasi melalui penjualan saham yang dimiliki oleh FCX dan PT ‎Mitra Joint Venture, akan membahas kapitalisasi PTFI untuk memastikan perusahaan dapat melakukan investasi modal di masa depan.

Penerbitan saham baru akan membutuhkan investasi yang lebih besar oleh peserta Indonesia mencapai 51 persen, serta akan menghasilkan over kapitalisasi PT Freeport Indonesia dan struktur modal yang tidak efisien.

"Freeport akan mengkaji ulang dengan rencana Pemerintah untuk mendanai modal pengeluaran," ujar Adkerson.

Namun, saat dikonfirmasi mengenai surat tersebut, Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama belum memberikan tanggapan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.