Sukses

Inflasi Stabil Akibat Daya Beli Masyarakat Menurun?

Penurunan daya beli masyarakat menyebabkan harga-harga relatif tidak banyak bergejolak.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia tengah mengalami penurunan daya beli masyarakat. Penyebab penurunan daya beli tersebut karena keterbatasan lapangan kerja. 

Enny mengatakan, penurunan daya beli masyarakat ini terlihat dari anjloknya pertumbuhan sektor bisnis, seperti properti, ritel, serta industri makanan dan minuman.‎ "Yang terjadi sekarang itu sebenarnya penurunan daya beli, makanya di properti tidak tumbuh, di sektor ritel pertumbuhannya minus, dan juga industri-industri dasar seperti pangan juga mengalami perlambatan," ujar dia di Kantor Indef, Jakarta, Kamis (27/7/2017).

Salah satu faktor penurunan daya beli masyarakat ini lantaran keterbatasan lapangan kerja. Meski tingkat pengangguran terbuka tidak naik, masyarakat banyak yang beralih ke sektor informal.

"Kenapa terjadi penurunan daya beli? Karena keterbatasan lapangan kerja, sehingga sekalipun orang tidak masuk ke pengangguran terbuka tetapi mereka terlempar ke sektor nonformal. Sektor ini tentu tidak menghasilkan penghasilan yang memadai. Sehingga kalau penghasilannya tidak memadai, barang-barang yang mampu dibeli sangat terbatas. Itu yang disebut penurunan daya beli," jelas dia.

Menurut Enny, penurunan daya beli masyarakat ini juga menyebabkan harga-harga relatif tidak banyak bergejolak. Oleh sebab itu, dalam beberapa tahun terakhir inflasi nasional relatif rendah.

"Penurunan daya beli ini menciptakan kurva demand yang menurun, itu menyebabkan harga-harga relatif tidak mengalami gejolak. Sehingga dalam tiga tahun terakhir inflasi kita relatif rendah. Tetapi pemerintah menilai dengan inflasi rendah, berarti ada ruang untuk menaikkan harga-harga yang bisa ditentukan pemerintah, seperti listrik, tarif air minum, termasuk biaya pengurusan STNK dan BPKB, yang sebenarnya tidak signifikan tapi berdampak pada daya beli masyarakat," ungkap dia.

Selain itu, pelemahan daya beli ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Meski hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan rasio perpajakan, dampaknya juga pada penurunan daya beli.‎

"Dalam kondisi daya beli menurun, harusnya melakukan kebijakan yang ekspansif seperti mengendorkan tarif pajak dan sebagainya. Pajak ini juga bukan hanya pada konsumen akhir tapi juga pada dunia usaha. Karena begitu dunia usaha mengalami kenaikan biaya-biaya, maka yang terjadi kenaikan harga-harga produk yang mereka jual. Di satu sisi penghasilan masyarakat mengalami penurunan, di sisi lain harga semakin memperlemah daya beli," tandas dia.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2017 agak tertekan lantaran daya beli masyarakat yang menurun. Selain itu, gaji ke-13 pegawai negeri sipil (PNS) baru dicairkan pada kuartal III.

"Kami akan lihat data bahwa pertumbuhan ekonomi 2017 kuartal II mungkin agak tertekan karena permintaan konsumsi turun, karena gaji ke tiga belas dibayarkan kuartal III dan ada pembayaran uang sekolah periode Lebaran. Tapi, setahun kita akan tetap baik," kata Gubernur BI Agus Martowardojo.

Namun demikian, lanjut Agus, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini diprediksi lebih banyak disumbang pada semester II. Oleh sebab itu, dia berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III dan kuartal IV bisa jadi penopang pertumbuhan ekonomi di 2017.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.