Sukses

Respons Pengusaha Soal Larangan Menikah dengan Teman Sekantor

Pengusaha tak mempermasalahkan jika ketentuan terkait hubungan suami istri ini digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha mengklaim larangan pernikahan dengan rekan sekantor memiliki tujuan positif. Hal itu untuk menghindari konflik kepentingan serta meningkatkan produktivitas.

Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, larangan menikah dengan rekan sekantor sebenarnya hal yang lumrah. Hal tersebut juga berlaku di instansi pemerintah.

"Sebenarnya memang katakanlah bukan hanya terjadi di kalangan swasta. Di kalangan pemerintah secara tidak langsung diberlakukan. Misalnya, TNI, Polri. Cuma memang biasanya kalau misalnya satu corp atau dinas biasanya dipisah," kata dia kepada Liputan6.com seperti ditulis di Jakarta, Rabu (17/5/2017).

Dia mengatakan, pemisahan hubungan dengan rekan sekantor itu untuk menghindari konflik kepentingan. Misalnya, pada praktik yang menjurus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Kemudian untuk meningkatkan produktivitas. Sarman mengatakan, apabila dalam satu kantor terdapat pasangan suami istri dikhawatirkan masalah rumah tangga akan terbawa di ruang kerja.

"Kedua dari sisi produktivitas. Misalnya, kalau suami istri dalam satu kantor terjadi masalah di rumah otomatis terbawa di kantor nggak mungkin nggak," dia menjelaskan.

Sarman meyakini banyak karyawan yang enggan bekerja dengan pasangan dalam satu tempat. "Dan saya yakin, sebenarnya kebanyakan juga karyawan apabila satu kantor suami istri kebanyakan mereka risih," kata dia.

Meski demikian, Sarman tak mempermasalahkan jika ketentuan terkait hubungan suami istri ini digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). "Tapi kalau ada mengajukan itu  ke MK itu sah-sah saja. Tentu perusahaan itu akan melihat dampak yang positif baik sisi pengusaha atau pekerjanya sendiri," tandas dia.

Untuk diketahui, delapan pegawai PT PLN (Persero) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pegawai PLN, melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Delapan pegawai itu adalah Jhoni Boetja, Edy Supriyanto Saputra, Airtas Asnawi, Saiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad Yunus, dan Yekti Kurniasih. Mereka merupakan anggota serikat pekerja PLN dari Palembang, Jambi, dan Bengkulu.

Secara spesifik mereka menggugat Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, mengenai larangan perkawinan sesama pegawai dalam satu perusahaan.

Pasal itu berbunyi; Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

"Iya sudah diajukan dan diregistrasi sebagai perkara 13/PUU-XV/2017. Pada intinya, pemohon menginginkan agar frasa, kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dihapuskan," ujar ucap juru bicara MK Fajar Laksono di Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Pemohon, lanjut dia, ingin agar pengusaha tidak mem-PHK karena alasan pekerja atau buruh memiliki pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pegawai lainnya dalam satu perusahaan. Fajar mengungkapkan, perkara tersebut telah teregistrasi pada 13 Februari 2017. Sidang pendahuluan telah digelar MK pada 22 Februari 2017, dan perbaikan permohonan 5 April 2017.

"Kemudian kemarin telah mendengarkan keterangan Presiden 15 Mei 2017. Sidang berikutnya mendengarkan keterangan DPR dan pihak terkait 5 Juni mendatang," jelas Fajar.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.