Sukses

Harga Ayam Mahal, Pedagang Ungkap Permainan Pengusaha Besar

Saat ini harga daging ayam bertengger di Rp 34 ribu per kilogram (kg).

Liputan6.com, Jakarta - Lonjakan harga daging ayam ‎menjelang puasa memicu dugaan terjadinya kartel oleh 12 perusahaan yang selama ini mengatur stok ayam. Pedagang pasar ternyata tidak menampik hal ini karena melihat harga daging ayam sangat mahal hingga bertengger di Rp 34 ribu per kilogram (kg).

Salah satu pedagang daging ayam di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Dedi (40) asal Indramayu mengatakan, daging ayam saat ini dijual seharga Rp 33 ribu-Rp 34 ribu per Kg. Harga tersebut cenderung stabil.

"Kalau dari bandarnya, daging ayam dijual Rp 31 ribu per Kg. Ambil untung wajar Rp 2 ribu-Rp 3 ribu, jadi saya menjualnya seharga Rp 33 ribu-Rp 34 ribu per Kg," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (17/6/2016).

Dedi mengaku, harga daging ayam ini sudah melambung sangat tinggi dari harga normal Rp 22 ribu-Rp 25 ribu per kg sebelum Ramadan. Hal tersebut diduga tidak terlepas dari permainan para pengusaha raksasa yang menguasai bisnis ayam dari hulu ke hilir. Dedi bilang, pemainnya banyak dalam kasus dugaan kartel daging ayam.


"Harga daging ayam masih mahal karena permainan dari perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini yang memegang kendali semuanya, makanya tidak heran kalau ada kartel. Bukan cuma dua perusahaan besar, tapi banyak. Yang hancur ya pedagang kayak saya ini," sungut dia.

Jalur rantai pasok distribusi daging ayam, dia menjelaskan,  selama ini adalah dari perusahaan berlanjut ke bandar. Baru kemudian ke pedagang atau pengecer dan sampai ke tangan konsumen. Hanya saja setiap tingkatan ini, rata-rata mengambil untung paling kecil Rp 5.000 per Kg. Sementara pedagang kecil di pasar, paling banter memungut untung Rp 2.000-Rp 3.000 per kg.

"‎Perusahaan besar ini juga tidak mau kerjasama dengan peternak mandiri, kalau peternak mandiri tidak mau ikutin harga yang dipatok mereka. Bibit ayam sengaja distop penyalurannya ke petenak mandiri. Jahatnya begitu, jadi peternak mandiri mati semua," terang dia.

Padahal, kata Dedi, suplai ayam dari peternak mandiri yang lebih murah Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per ekor sebetulnya sangat membantu menekan harga daging ayam di pasar. Sayangnya, perusahaan besar dengan segala cara merusak struktur pasar ini sehingga menguasai bisnis perunggasan, termasuk ayam.

"Belum lagi harga pakan ternak yang mahal karena pakai dolar AS alias impor, sehingga membuat daging ayam semakin susah turunnya," tuturnya.

Kondisi ini, menurut dia, berbeda dengan era pemerintahan Soeharto. Ketika itu, harga daging ayam hanya Rp 1.500 per kg. Untuk jeroan semisal hati dan ampela dijual seharga Rp 300 per buah. Tapi sekarang ini, harga jeroan ayam saja sudah Rp 3 ribu per kg.

Beruntung, diakui dia, penjualan daging ayam tetap stabil. Permintaan masih cukup banyak meskipun harganya sudah tinggi. Dalam sehari, Dedi sanggup menjual daging ayam sebanyak 80 ekor saat harganya sudah di atas Rp 30 ribu per Kg. ‎Sementara jika sedang ramai, penjualan bisa menembus 120 ekor setiap hari. "‎Mungkin karena harga daging sapi tinggi, jadi pada beralih konsumsi ke daging ayam," ujarnya.

Dedi berharap, pemerintah dapat melakukan intervensi dengan membatasi harga jual di tingkat perusahaan besar supaya pihak bandar pun menurunkan harga daging ayam ke tingkat pedagang eceran.

"Jadi jangan cuma pedagang kecil seperti saya ini yang ditekan, pemerintah harus menetapkan harga ayam sebesar Rp 17 ribu per kg, supaya harga daging ayam kembali normal. Pokoknya harga di tingkat perusahaan jangan di ataas Rp 20 ribu per Kg saja," tegas Dedi.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebelumnya menduga ada praktik anti persaingan atau kartel oleh para distributor terhadap sejumlah bahan pangan strategis, seperti daging ayam, minyak goreng, dan lainnya. Permainan harga tersebut telah memicu lonjakan harga tinggi di pasar dan merugikan masyarakat atau konsumen.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengungkapkan, KPPU telah menginvestigasi dan menemukan praktik kecurangan yang dilakukan para distributor ataupun retailer sehingga menyebabkan harga-harga pangan melambung saat puasa dan menjelang Lebaran.

Dia membeberkan temuan pertama praktik kartel di komoditas daging ayam. Harga ayam hidup di peternak tidak naik, masih sekitar Rp 15 ribu per kilogram (kg). Kenyataannya sampai di pasar, harga jual daging ayam mencapai Rp 35 ribu, bahkan di beberapa tempat menembus Rp 40 ribu per kg.

“Ini mengindikasikan ada persoalan di tengah antara peternak dan end user atau konsumen, yakni di distributor dan retailer,” tegas Syarkawi Selasa 7 Juni 2016.

Di sisi lain, pengusaha pembibitan ayam menyatakan bahwa apkir dini indukan ayam (parent stock) bukanlah praktik kartel. Langkah perusahaan pembibitan ayam diambil untuk menjalankan kebijakan pemerintah.

Namun ini dibantah perusahaan perunggasan yang mengungkapkan bahwa kebijakan apkir induk ayam yang masih produktif untuk mentaati kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, langkah apkir tersebut bukan merupakan tindakan kartel seperti yang dituduhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Indonesia Hartono menyampaikan bahwa perusahaan pembibitan unggas yang menjadi terlapor, hanya merupakan korban dalam pelaksanaan kebijakan apkir dini induk ayam (parent stock/ PS) yang diperkarakan oleh KPPU.

Para perusahaan pembibitan unggas membantu peternak dengan menjalankan instruksi Pemerintah untuk mengapkir dini induk ayam PS yang masih berada dalam usia produktif.

“Saya harus jujur, dalam perkara apkir dini ini, perusahaan pembibit unggas termasuk Charoen Phokpand dan Japfa Comfeed berkorban demi menyelamatkan pelaku peternak mandiri,” ujarnya saat bersaksi di sidang pemeriksaan lanjutan dugaan kartel ayam pedaging di KPPU, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (16/6/2016).

(Fik/Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini