Sukses

RI Diminta Belajar ke Malaysia Soal Lahan Gambut

Ini terkait dengan maraknya insiden kebakaran hutan yang dituding karena tindakan korporasi sawit.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk satu suara dalam menangani masalah gambut. Bahkan, Indonesia dinilai bisa belajar ke negara tetangga saat menangani lahan gambut. Ini terkait dengan maraknya insiden kebakaran hutan yang dituding karena tindakan korporasi sawit.

“Pemerintah terutama di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus menjaga betul pernyataan agar tidak bisa membuat resah, harus memberi solusi. Selama ini pemerintah tidak belajar,” tegas Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, Ricky Avenzora, Rabu (18/11/2015).

Ia menjelaskan, saat ini posisi perkebunan sawit Indonesia nomor satu di dunia. Sayang, kini terus terkena kampanye hitam yang bisa membahayakan posisi perkebunan sawit nasional.

Pemerintah, menurut Ricky, seringkali membuat rumit segala sesuatu. Ia mengkritik langkah pemerintah yang akan menjadikan lahan gambut yang sudah terbakar untuk kemudian dijadikan open acces. Harusnya, kalau pun kemudian tanah gambut ada yang terbakar di lokasi milik perusahaan, tetapi diberikan ke perusahaan untuk kembali dirawat.

“Pemerintah harusnya membuat situasi kondusif bukan memperumit, karena pada ujungnya pemerintah pasti tidak punya dana untuk memperbaiki hal masalah perawatan lahan yang sudah terbakar,” tegasnya.

Ricky berharap, pemerintah dalam menyusun kebijakan tidak kemudian melahirkan masalah-masalah baru.

“Jangan kita buat satu masalah baru, misal bekukan perusahaan, kan, itu jadi masalah baru. Jangan pula timbulkan peluang kesalahan baru. Contoh cabut izin HGU kemudian justru dialihkan ke yang lain. Terkesan seperti ambil semua aset perusahaan (ASAP), ini jangan sampai terjadi, karena itu black kampanye,” tandasnya.

Lulie Melling, Director of Tropical Peat Research Laboratory Unit (TPRL) Malaysia menegaskan, diperlukan komunikasi semua pihak baik pemerintah dan masyarakat bahwa tidak semua kebakaran di lahan gambut disebabkan korporasi. Pasalnya, publik seringkali tidak bisa membandingkan antara gambut yang terkelola dengan gambut yang tidak terkelola.  

Di Malaysia, lanjut dia, gambut bisa dikelola dengan baik sehingga sulit terbakar. Di Sarawak terdapat 1,2 juta hektar lahan gambut atau 13 persen dari luas daratan. Sarawak yang merupakan kawasan gambut terbesar di Malaysia, dapat terhindar dari kebakaran karena mempunyai teknologi pemadatan dan tata kelola air yang baik.

Kata Melling, persoalan kebakaran seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah, tidak terjadi di Sarawak karena ada kesadaran bersama mengenai pentingnya menerapkan teknologi tata kelola air mulai dari petani kecil hingga korporasi.

Kesadaran mengenai pentingnya teknologi itu seharusnya dikomunikasikan akademisi kepada para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pengambil keputusan industri dan pekerja.   

Lulie mengingatkan, tanpa dukungan penelitian gambut maka akan selalu terjadi fitnah terhadap gambut.

Lulie mengingatkan tanah gambut bisa dubah menjadi tanah pertanian untuk ditanami kelapa sawit yang memberikan pendapatan kepada negara.

"Malaysia bisa terselamatkan krisis ekonomi tiga kali berkat sawit. Gambut ibarat itik mengeluarkan telur emas. Di serawak, jumlah areal perkebunan sawit naik dua kali lipat. Dari segi ekonomi di Sarawak, pendapatan secara langsung sawit di lahan gambut mencapai 400 juta RM-500 juta RM per tahun," jelas Lulie.

Lulie mengatakan, sawit itu komoditi yang kena pajak paling tinggi. Sementara minyak nabati lain dapat subsisdi. Tapi, meski pajak tinggi, para pengusaha komitmen selalu bayar pajak.Dengan inovasi teknologi, kata Lulie, dapat menjadikan gambut sebagai lahan pertanian dan lahan perkebunan. Sekarang kita punya excavator untuk mengelola gambut. Dalam buku teks tanah tidak boleh dipadatkan tetapi kalau gambut itu harus dipadatkan.

Supiandi Sabiham Guru Besar IPB yang juga Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sahibam mengungkapkan, bahwa lahan gambut sebenarnya memiliki ketahanan terhadap daya bakar tinggi alias tidak mudah terbakar. Namun kemudian, ketahanan itu seringkali hilang akibat didorong permasalahan sosial di sekelingya.

“Ketahaan terhadap daya bakar sebetulnya tinggi di lahan gambut, tapi kemudian ada permasalahan sosial di sekelingnya, ini yang jadi pemicu. Perlu penelitian sosial lanjutan agar ada bisa dicegah. Kebakaran di lahan gambut sangat komplek, tidak bia disederhanakan,” tegas Supiandi.

Indonesia perlu merujuk kepada Malaysia dalam pengelolaan gambut. Di Malaysia, khususnya Sarawak sebagian kawasan yang dipakai untuk perkebunan berada di kawasan gambut. “Mereka mampu mengelola kawasan gambut dengan baik karena menerapkan water management,” kata Supiandi.

Supiandi juga merekomendasikan, kawasan gambut terutama gambut terdegradasi sebaiknya dikelola untuk kegiatan produktif agar tidak semakin rusak.“Tata kelola air yang baik mampu mempertahankan kelembaban lahan gambut serta menjaga cadangan air yang ada” tuturnya.

Saat ini, dari 15 juta hektare gambut di Indonesia, sekitar 4 juta terpakai untuk kegiatan produksi, 4 juta lagi terdegradasi, 2 juta masih berupa semak belukar dan sisanya hutan.Supiandi juga menyatakan, pembatasan muka air gambut 0,4 meter tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi karbon.

“Emisi karbon pada lahan gambut dengan muka air pada rentang 0,4-0,7 meter tidak memiliki perbedaan secara nyata,” imbuhnya.(Nrm/Zul)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini