Sukses

Stop Subsidi BBM, Jokowi Siap Tak Populer

Kita sudah berpuluh puluh tahun menikmati subsidi itu tanpa terasa. Setahun Rp 300 triliiun kita bakar dan hilang.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku sejumlah kebijakan yang dibuatnya bisa menurunkan popularitas dirinya di mata rakyat. Namun dia meyakini kebijakan tersebut akan bermanfaat bagi rakyat dan negeri ini ke depannya.

Untuk itu, dia memastikan akan mempertahankan kebijakan ekonominya terkait pengalihan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM), penghentian ekspor bahan mentah (raw material) tambang, termasuk juga dalam hal impor bahan pangan seperti beras, jagung, dan kedelai.

Jokowi mengakui diperlukan perubahan pola pikir yang total dalam memahami kebijakan ekonomi yang kini diambil pemerintah. Tidak mungkin hanya langsung mengubah, kemudian masyarakat bisa menerima. Orang nomor satu di Indonesia itu menegaskan dirinya siap dengan resiko tidak popular atas kebijakan yang diambilnya itu.

“Saya tahu dan saya sudah diingatkan oleh tangan kiri kita. Bapak kalau ini nanti dialihkan, pengalihan subdisi dari yang konsumtif dipakai kendaraan tiap hari kemudian dialihkan kepada sektor produktif, pertanian, perikanan, infrastruktur, hati-hati. Bapak bisa jatuh popularitasnya. Saya sampaikan, itu resiko sebuah keputusan,” tegas Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Sabtu (18/4/2015).

Dia mengaku sengaja fokus membenahi masalah Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi tantangan global, termasuk pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir tahun 2015 ini, karena apapun ke depan pertarungannya kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Pertarungannya ada di situ. Bukan masalah kekuatan sumber daya alam, tetapi ada di SDM, sumber daya manusia," kata dia.

Tidak bisa gunakan ‘booming’ SDA

Meskipun dikaruniai sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah, Jokowi menyayangkan karena Indonesia tidak bisa menggunakan itu. Ia menunjuk contoh saat booming minyak  pada tahun 1970-an, negeri ini tidak bisa membuat sebuah pondasi pembangunan yang baik.

Demikian pula, pada tahun 1980-an Indonesia booming kayu, sebagian besar ditebang dan lupa tidak membangun industri hilirnya. Lupa lagi tidak bisa membuat pondasi untuk pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Hal yang sama, lanjut Jokowi, kembali dilakukan Indonesia terkait ekspor batu bara. Diekspor ke negara lain yang membangun industri dengan batu bara Indonesia, produknya masuk ke Indonesia. Selanjutnya, rakyat yang membeli produk produk mereka.

“Itu sebuah kesalahan. Kenapa tidak kita kunci, kita miliki. Kalau kamu mau buat industri, buat di Indonesia. Batu bara banyak di sini. Sehingga akan ada keuntungan pajak, tenaga kerja, nilai tambah yang lain lain, akan banyak sekali. Inilah yang akan kita lakukan,” papar Jokowi.

Untuk itulah, papar Jokowi, pemerintah akan mulai stop satu per satu. Tidak hanya masalah batu bara, tidak hanya nikel, tidak hanya masalah bauksit, tidak hanya masalah timah. “Ini harus kita olah, hilirisasinya ada di Indonesia. Kita sudah tidak mau lagi kita kirim mentahan. Diolah di sana, kembali ke sini kita beli,” tegasnya.

Dengan diolah di sini, Jokowi meyakini akan membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya. “Itulah yang kita inginkan,” ujarnya.

Diakui Kepala Negara, untuk menuju ke sana, transisinya memang memerlukan perubahan pola pikir yang total. Tidak mungkin hanya langsung mengubah cepat kemudian semuanya bisa menerima.

Jokowi lantas menunjuk contoh soal impor beras yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Sekitar Desember-Januari, dia mengakui adanya usul lagi kepadanya agar mengimpor beras dengan alasan stok sudah berbahaya.

“Saya cek memang tinggal sedikit. Tetapi setelah saya hitung, ini sampai berani sampai panen raya. Tetapi dengan keputusan seperti itu yang terjadi adalah spekulasi. Harga beras menjadi naik. Ini memang sebuah resiko yang harus saya ambil,” papar Jokowi.

Diakui Jokowi kalau keputusannya itu memang tidak popular. Tetapi ia menganggap harus berani mengubah itu, karena kalau Indonesia masih impor 3,5 juta ton per tahun, maka petani-petani  kita tidak akan mau berproduksi.

“Untuk apa, impor aja lebih murah. Tetapi orang berproduksi menjadi marah. Ngapain kita berproduksi. Inilah sering saya sulit menjelaskan. Tetapi ini memang harus ini dijelaskan secara gamblang,” kata Jokowi.

Menahan-nahan seperti itu ada resikonya. Kalau pemerintah memutuskan tidak impor berarti harganya akan naik,  tetapi terus impor dari dulu sampai sekarang negeri ini akan seperti itu terus. Impor terus dan petani menjadi tidak rajin untuk berproduksi.

“Inilah yang terus kita tahan. Gula juga sama, kedelai juga sama. Inilah yang ingin kita benahi tetapi sekali lagi memerlukan perubahan pola pikir, total cara cara kita berproduksi,” jelas Kepala Negara.

Bakar uang Rp 1.300 Triliun

Presiden juga mengemukakan, saat memutuskan pengalihan pengalihan subsidi BBM dari yang konsumtif kepada yang produktif coba, semuanya demo. Padahal, jelas Jokowi, pemerintah  ingin mengalihkan subsidi dari konsumtif kepada produktif.

Indonesia sudah berpuluh-puluh tahun menikmati subsidi itu tanpa terasa. Setahun subsidi BBM Rp 300 triliiun dibakar dan hilang. Kalau 10 tahun menjadi Rp 3.000 triliun.

Setelah dicek, yang menikmati subsidi Rp 300 triliun per tahun itu, 82 persen adalah mereka yang punya mobil. Ia mempertanyakan hal itu, karena yang punya mobil disubsidi, yang lain malah tidak.

Padahal, lanjut Jokowi, sesuai dengan hitungan yang dimilikinya, untuk membangun jalur kereta api di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara sampai di Papua itu hanya butuh duit Rp 360 triliun. Tapi sampai saat ini pemerintah tidak bisa membangun karena tiap hari bakar yang namanya BBM itu dengan subsidi.

Kenapa pemerintahan yang dulu tidak berani memotong mengalihkan ke yang produktif, menurut Jokowi, karena masalah popularitas.(Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini