Sukses

Pengamat Soroti Polemik Impor Beras

Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menyoroti polemik impor beras antara Dirut Bulog dengan Menteri Pertanian.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menyoroti polemik impor beras antara Bulog dengan Kementrian Pertanian.

Bulog menganggap produksi panen beras petani sangat kurang. Namun, ini disanggah oleh Kementan yang mengatakan produksi cukup.

Bambang yang juga merupakan Anggota DPR RI Periode 2014-2019 ini mengatakan bahwa perbedaan pendapat itu sangat tidak lazim karena Bulog tidak biasanya mengusulkan impor beras secara nasional.

"Karena yang paling tahu kebutuhan beras dengan mempertimbangkan keseimbangan antara supply (produk pertanian) dibanding dengan demand (konsumen beras) adalah peran dari Kementerian Perdagangan," ujar BHS, sapaan akrab Bambang Haryo Soekartono.

Menurut dia, Bulog secara nasional hanya bisa menyerap beras nasional sebesar 1,2 juta ton di tahun 2021.

Jumlah ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan serapan produksi beras nasional secara total yang jumlahnya mencapai 31,33 juta ton total serapan nasional.

"Jadi Bulog hanya membeli beras petani nasional dan mengedarkan beras kemasyarakat tidak lebih dari 3 persen dari total beras yang diproduksi nasional, jadi serapan terbesar adalah dari swasta," katanya.

Sehingga, kata dia, Bulog kurang pas memberikan usulan impor dan informasi kepada Pemerintah, yang akhirnya menjadi salah informasi juga kepada publik karena ketidaktahuannya tentang produksi dan bahkan cadangan beras secara nasional.

"Serapan Bulog yang relatif sangat sedikit ini karena Bulog belum bisa secara profesional menyerap beras nasional, termasuk juga memasarkan beras nasional kemasyarakat. Terbukti sebagian besar bahkan semua masyarakat Indonesia tidak berminat untuk membeli beras yang dipasarkan oleh Bulog," tegas BHS.

Pria yang merupakan Dewan Pembina Grakan Tani Rakyat (GETAR) Pusat ini menyayangkan pernyataan Bulog yang juga meminta impor 500 ribu ton beras dengan anggaran sebesar Rp 4,4 triliun dan mengatakan mereka rugi besar karena harus menjual beras impor dengan harga Rp 8.300 rupiah per kg sedangkan harga belinya Rp 8.800 per kg dari Vietnam.

BHS menambahkan bahwa pernyataan kerugian Bulog tersebut adalah tidak masuk akal karena harga beras di Vietnam yang sebenarnya hanya berkisar paling murah 5.800 Dong (Rp 3.800) dan paling mahal 12.000 Dong (Rp 7.900 ).

"Dan bila pengirimanan ditambah ongkos angkut plus keuntungan 15%, maka harga beras Vietnam sampai di Indonesia hanya ditambah 25%," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kementan Harus Dorong Peningkatan Produksi Beras Nasional

BHS juga sangat prihatin dengan pernyataan Menteri Pertanian yang bisa memaklumi harga beras tinggi di Indonesia tanpa menganalisa penyebabnya dan bahkan menyarankan masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai pengganti beras.

Padahal Menteri Pertanian seharusnya malah mendorong peningkatan produksi beras nasional untuk bisa bersaing dengan negara lain.

Dia mencontohkan Vietnam, dimana Indonesia mempunyai lahan pertanian sebesar 70 juta hektar dengan lahan panen padinya sebesar 10,41 juta hektar tetapi hanya menghasilkan beras nasional sekitar 31 juta ton pertahun.

Sedangkan Vietnam yang hanya mempunyai lahan pertanian sebesar 7,2 juta hektar menghasilkan produksi beras 44 juta ton pertahun.

"Dan Vietnam bahkan bisa menjadi negara pengekspor beras nomor 2 terbesar dunia di tahun 2020 tetapi Indonesia tidak masuk dalam negara pengekspor beras terbesar didunia sampai dengan peringkat 10 besar dunia," terang BHS.

Alumni ITS yang didaulat sebagai Bapak Petani Sidoarjo ini mengatakan harusnya Menteri Pertanian berusaha untuk mendengar keluhan petani mulai dari sektor pengairan yang kesulitan air walaupun dipinggir sungai atau waduk yang baru dibangun, kesulitan pupuk baik subsidi maupun non subsidi dengan harga sangat mahal padahal bahan baku untuk pupuk sangat berlimpah di Indonesia, kesulitan benih (subsidi bahkan dihapus dan harga mahal), kesulitan BBM Subsidi, Asuransi, hama (tikus, wereng, dll), kesulitan mendapatkan Kredit Usaha KUR, serta pemasaran produk petani sangat kurang mendapat dukungan dari Kementerian Pertanian.

"Bila produksi wajar dengan lahan panen padi 10,4 juta hektar yang perhektarnya menghasilkan rata rata 8 ton gabah dan bisa panen dua kali, serta keberpihakan pemerintah kepada petani cukup besar, maka harusnya bisa menghasilkan 166,4 juta ton gabah atau setara dengan sekitar 90 juta ton beras yang dihasilkan pertahunnya," kata dia.

Sehingga dengan kebutuhan masyarakat Indonesia setahun yang hanya berkisar 20 sampai 30 juta ton, masih akan tersisa 60 juta ton beras yang bisa kita ekspor ke negara lain seperti yang diinginkan oleh Presiden Jokowi “Tidak Perlu Lagi Impor Beras" dari luar negeri.

"Dan tentu harga beras kitapun akan menjadi semakin murah bila komponen biaya yang saat ini besar ditanggung oleh para petani bisa di selesaikan oleh Kementerian Pertanian sehingga beras di Indonesia tidak masuk dalam harga yang tertinggi di Asia Tenggara yang saat ini dari 10 tahun terakhir beras di Indonesia, yang menurut Data World Bank, adalah termahal di Asia Tenggara," kata BHS.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.