Studi: Trenggiling Merupakan Tersangka Utama Penyebaran Virus Corona Covid-19

Kelelawar awalnya dianggap sebagai tersangka utama bagi penyebaran virus corona model terbaru penyebab Covid-19.

oleh Marco Tampubolon diperbarui 27 Mar 2020, 13:10 WIB
Sejumlah hewan trenggiling saat diamankan pihak berwenang di Belawan, Sumatra Utara (13/6). Tim gabungan Lantamal I dengan Mabes TNI AL berhasil mengamankan ratusan trenggiling senilai USD 190.000 sekitar Rp 2,5 miliar. (AFP Photo/Gatha Ginting)

Liputan6.com, Jakarta Para peneliti terus mempelajari virus Corona model terbaru yang kini tengah menjadi pandemi global. Selain untuk mengetahui lebih jauh mengenai asal muasal virus tersebut, penelitian juga gencar dilakukan demi mendapatkan vaksin penangkal dan obat bagi pasien yang sudah terjangkit Covid-19.

Sejak pertama kali merebak di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, akhir tahun lalu, penyebaran virus Corona model terbaru belum juga berhenti. Data terbaru menyebut, jumlah korban terinfeksi di seluruh dunia sudah lebih dari 500 ribu orang dengan angka kematian mencapai lebih dari 24 ribu jiwa.

Awalnya tidak banyak yang diketahui mengenai virus penyebab SARS-CoV-2 tersebut. Hanya saja hasil riset mengindikasikan kelelawar sebagai reservoir sebelum kemudian menular ke manusia. Temuan ini membuat pemerintah China segera menutup lokasi-lokasi penjualan hewan liar di lokasi terdampak. 

Penelitian masih terus dilakukan hingga saat ini. Seperti dilansir AS, hasil studi terbaru yang dilakukan para ilmuwan di China menemukan kalau hewan trenggiling justru menjadi inang utama virus Corona Covid-19. Peredarannya yang luas di pasar gelap hewan membuat virus pun semakin mudah menyebar. 

"Peran trenggiling dalam kemunculan SARS-CoV-2 (penyebab Covid-19) masih belum jelas," kata Profesor Edward Holmes dari University of Sydney dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Nature.

"Namun yang mengejutkan adalah bahwa virus pada trenggiling mengandung beberapa daerah genom yang sangat erat kaitannya dengan virus manusia. Yang paling penting adalah domain pengikatan reseptor yang menentukan bagaimana virus dapat menempel dan menginfeksi sel manusia."

 

2 dari 5 halaman

Hindari Pasar Gelap Hewan

Seekor trenggiling diperlihatkan di sebuah kotak kayu setelah diselamatkan dari perdagangan liar di provinsi Ha Tinh, Vietnam (30/7/2019). Puluhan trenggiling hidup yang diselundupkan dari Laos ditemukan "dehidrasi dan lemah" di sebuah bus di Vietnam tengah. (AFP Photo/Save Vietnam's Wildlife)

Trenggiling selama ini memang kerap diperjual-belikan di pasar gelap hewan. Tidak hanya dijadikan makanan, trenggiling di berbagai negara termasuk China, juga diolah menjadi obat tradisional.

Menurut data Organisasi Konservasi Alam Dunia, dari delapan trenggiling yang ada di dunia saat ini, tiga di antaranya sudah masuk dalam kategori terancam punah. Tiga spesies lainnya bahkan sudah termasuk kategori sangat langka. Seentara dua lainnya masuk dalam kategori rentan punah.

Dalam melakukan studi ini, Profesor Holmes dan tim bekerjasama dengan peneliti dari China. Mereka menyarankan agar perdagangan satwa liar bisa ditekan untuk mencegah pandemi global Covid-19. 

"Jelas bahwa satwa liar mengandung banyak virus corona yang berpotensi muncul pada manusia di masa depan. Pelajaran penting dari pandemi ini untuk membantu mencegah yang berikutnya adalah bahwa manusia harus mengurangi paparan terhadap satwa liar, misalnya dengan melarang 'pasar basah' dan perdagangan satwa liar, " tulis Holmes dan tim dalam bagian kesimpulan makalahnya.   

3 dari 5 halaman

Kenapa Kelelawar Tersangka Utama?

Seperti yang kita ketahui, hanya manusia yang bisa berterimakasih jika ditolong. Siapa sangka ternyata hewan ini juga bisa berterimakasih.

Sebenarnya, hingga saat ini, para ilmuwan belum memastikan dari mana asal-usul virus pemicu COVID-19. Pembuktian harus dilakukan dengan mengisolasi virus yang hidup dalam spesies yang dicurigai. Itu sama sekali bukan pekerjaan gampang.

Namun, ada alasan untuk mencurigai kelelawar. Sebab, virus pemicu COVID-19 sebelumnya terlihat pada kelelawar tapal kuda (horseshoe bats) yang ada di China.

Temuan itu membuat para ahli bertanya-tanya, bagaimana penyakit itu berpindah dari komunitas kelelawar, yang jarang tersentuh manusia, hingga menyebar ke seluruh dunia.

Kelelawar adalah satu-satunya mamalia yang bisa terbang. Kemampuan itu memungkinkan hewan itu menyebar dalam jumlah besar di wilayah yang luas, demikian menurut para ilmuwan.

Itu berarti, mereka bisa menampung sejumlah patogen atau penyakit. Kemampuan terbang kelelawar membutuhkan aktivitas dalam jumlah besar, yang membuat sistem imun atau kekebalan tubuh hewan itu menjadi istimewa.

"Ketika terbang, suhu tubuh kelelawar memuncak, yang menyerupai demam," kata Andrew Cunningham, Profesor Epidemiologi Hewan Liar di Zoological Society, London kepada CNN.

"Hal itu terjadi setidaknya dua kali dalam sehari pada kelelawar, ketika mereka terbang mencari makan dan kembali ke sarang. Sejumlah patogen di tubuh kelelawar kemudian berevolusi untuk bertahan di tengah memuncaknya suhu tubuh itu."

Cunningham menambahkan, hal tersebut menimbulkan masalah ketika penyakit-penyakit itu melompat ke spesies lain.

Pada manusia, misalnya, demam adalah mekanisme pertahanan yang dirancang untuk menaikkan suhu tubuh yang bertujuan untuk membunuh virus.

Sementara, virus yang telah berevolusi dalam kelelawar mungkin tidak akan terpengaruh oleh suhu tubuh yang lebih tinggi.

4 dari 5 halaman

Stres pada Kelelawar

Ilustrasi kelelawar. Kredit: Stux via Pixabay

Lantas, mengapa penyakit dalam tubuh kelelawar bisa hingga ke manusia.

Jawabannya, menurut Cunningham adalah 'limpahan zoonotik' (zoonotic spillover) alias transfer.

"Penyebab mendasar zoonotic spillover dari kelelawar atau spesies liar lainnya, hampir selalu bahkan bisa dipastikan mengarah ke perilaku manusia," kata dia. "Aktivitas manusia yang menjadi pemicunya."

Cunningham menambahkan, ketika kelelawar mengalami tekanan atau stres -- akibat diburu atau habitatnya dirusak oleh deforestasi -- sistem kekebalan tubuh hewan mendapat tantangan dan menemui kesulitan untuk mengatasi patogen, yang kemudian mengambil alih.

"Kami meyakini, dampak stres pada kelelawar sangat besar, seperti halnya pada manusia," kata Cunningham.

Stres memungkinkan infeksi meningkat dan akhirnya dilepaskan. "Seperti ketika seseorang sedang stres dan terpapar virus radang dingin, ia akan mengalami radang dingin." Hal serupa juga bisa terjadi pada kelelawar.

Terkait COVID-19, episentrum wabah diduga bermula dari sebuah pasar di Wuhan, Provinsi Hubei, di mana hewan-hewan liar dijajakan sebagai binatang peliharaan atau bahan makanan, percampuran spesies juga virus bisa terjadi.

"Ketika hewan-hewan itu dikirim atau dikurung di pasar, dekat dengan hewan lain juga manusia, ada kemungkinan virus-virus dilepaskan dalam jumlah besar," kata Cunningham.

5 dari 5 halaman

Hewan Lain Rentan Terinfeksi

Tak hanya kelelawar, hewan-hewan lain juga lebih rentan terhadap infeksi dengan alasan yang sama: mereka stres.

Hal serupa diungkapkan Kate Jones, Ketua Bidang Ekologi dan Keanekaragaman Hayati di University College London.

Menurut dia, saat ini, tingkat pengangkutan hewan oleh manusia ada pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tujuannya sangat beragam, penelitian, medis, peliharaan, juga bahan makanan.

"Kita juga menghancurkan habitat mereka menjadi lanskap yang didominasi manusia. Hewan-hewan campur aduk, dalam cara aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di pasar, misalnya, hewan-hewan dikurung dalam kandang dan ditumpuk satu sama lain." (Baca berita lengkapnya di sini)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya