Sukses

Ada Peran Pemerintah di Balik Serangan Ransomware Petya?

Menurut CCD COE NATO, serangan Petya diduga kuat berafiliasi dengan pemerintah

Liputan6.com, Jakarta - Minggu lalu, dunia kembali dikejutkan dengan serangan ransomware bernama Petya. Malware yang disebut-sebut mirip dengan Wannacry ini sudah menyerang sekitar 64 negara, termasuk Rusia, Brasil, dan Amerika Serikat.

Namun, hingga sekarang belum dapat dipastikan pelaku dari serangan tersebut. Kendati demikian, menurut sejumlah peneliti keamanan Petya merupakan serangan siber yang dilandasi motivasi politik.

Cooperative Cyber Defence Centre of Excellence (CCD COE) NATO menyebut serangan itu didukung oleh aktor pemerintah atau setidaknya atas persetujuan pemerintah. Hal itu tak lepas dari target Petya yang menyerang sistem pemerintah.

"Sistem pemerintah telah menjadi target. Dengan kata lain, operasi ini merupakan bentuk pelanggaran untuk menyerang kedaulatan negara," tulis Tomas Minarik, peneliti dari CCD COE, seperti dikutip dari The Verge, Senin (3/7/2017).

Alasan lain, menurut pusat penelitian keamanan siber yang disponsori NATO itu, adalah serangan yang ditujukan pada institusi pusat Ukraina. Hal itu yang membuat serangan ini tak tampak dilakukan oleh penjahat siber biasa.

"Operasi ini tak terlalu rumit, tapi terbilang rumit dan mahal untuk disiapkan dan dieksekusi oleh peretas dengan daya yang terbatas," ujarnya. Nilai tebusan yang sangat kurang, bahkan tak mungkin menutupi biaya operasi.

Untuk informasi, Ukraina memang menjadi negara pertama yang diketahui menjadi korban serangan ini. Malware ini menyerang sistem di bandar udara, bank nasional, hingga kantor pemerintahan di negara tersebut. 

Ukraina sendiri memang sempat menyalahkan hacker asal Rusia adalah aktor di belakang serangan ini. Di sisi lain, beberapa perusahaan besar Rusia sebenarnya juga terkena serangan tersebut.

Sebagai informasi, Petya memang disebut-sebut memiliki efek lebih buruk dibanding WannaCry dan kemungkinan lebih sulit untuk dihentikan penyebarannya.

Serangan tersebut menargetkan PC Windows dengan cara kerja yang mirip dengan ransomware lain. Jadi, Petya akan meminta tebusan pada korban untuk membebaskan file yang dikunci oleh malware tersebut.

Untuk kasus Petya, nilai tebusan yang diminta dalam bentuk Bitcoin dengan nilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4 juta. Menurut laporan, sudah ada pembayaran tebusan senilai total US$ 9.000 atau sekitar Rp 117 juta.

(Dam/Ysl)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.