Sukses

Belum Berbadan Usaha Tetap, WhatsApp dkk Terancam Diblokir

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebutkan pemain OTT yang beroperasi di Indonesia harus berbadan usaha tetap.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tak segan-segan memblokir layanan over-the-top (OTT) yang tak memenuhi aturan badan usaha tetap (BUT) bagi pemain OTT yang beroperasi di Indonesia. 

Ditemui di Kantor Staf Presiden, Rabu (24/2/2016), Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan bahwa aplikasi OTT yang tidak memenuhi ketentuan soal kewajiban tersebut terancam diblokir.

Saat ini, kata Rudiantara, Kemenkominfo tengah melakukan finalisasi draf peraturan menteri tentang kewajiban badan usaha tetap (BUT) bagi aplikasi OTT yang beroperasi di Indonesia. Penerapan aturan ini ditargetkan pada akhir Maret 2016. 

Kebijakan ini akan mengatur soal masa transisi bagi OTT agar bisa memenuhi kewajiban tersebut. "Punishment-nya jika tidak dipenuhi, teknisnya gampang, nanti diblokir dari operator," ujar Rudiantara.  

Rudiantara berharap para pelaku bisnis OTT bisa memenuhi kewajiban itu. Namun, ia tidak ingin OTT hanya membuka kantor cabang, melainkan harus berbadan usaha tetap di Indonesia.

Para pemain OTT, lanjutnya, juga bisa membentuk badan usaha patungan (joint venture/JV) atau bisa juga memilih bekerja sama dengan operator seluler.

Rudiantara menyebutkan upaya tersebut sebagai bentuk terhadap perlindungan konsumen. Selama ini kata Rudi, konsumen aplikasi- aplikasi OTT kesulitan bila harus melakukan komplain lantaran perusahaan-perusahaan tersebut belum berbadan hukum di Indonesia.

"Kita harus berpatokan bagaimana melayani konsumen mengenai customer service‎. Orang pakai WA (WhatsApp), jika mau komplain ke mana? Paling-paling ke operator atau Kominfo. Ya gak bisa," ucap Rudi. 

Lanjutnya, "seharusnya yang jalani WhatsApp, komplain ke WhatsApp. Google ya Google. Sekarang kebetulan (Google) sudah ada kantor di Indonesia. Kemudian consumer protection. Anda pakai Gmail itu berarti Anda kasih data semua ke sana. Terus buat apa datanya, mau diapain? Tahu gak?"

Selain sebagai bentuk perlindungan konsumen, upaya tersebut juga bisa mengeruk potensi pajak yang tidak terserap akibat OTT tak berbadan hukum di Indonesia. "Pada 2015, iklan digital dari Indonesia memiliki nilai US$ 430 juta. Jika misalnya kena PPn 10%, itu sudah US$ 43 juta. Belum lagi PPh badan usaha," pungkas Rudiantara.

(Luq/Cas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini