Sukses

1 Juta Masyarakat Adat Terancam Tak Ikut Pemilu

Dari 17 juta jiwa masyarakat adat, 12 juta memiliki hak pilih. Ada satu juta di antaranya terancam tak bisa ikut pemilu.

Liputan6.com, Manado - Sekitar satu juta suara dari masyarakat adat terancam hilang dalam Pemilihan Umum 2019. Satu juta warga adat itu terancam tidak bisa memilih dalam pemilihan kepala daerah, legislatif, dan presiden tahun 2019.

"Mereka kehilangan haknya sebagai warga negara," ungkap Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, dalam Dialog Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) V bertema “Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat” di Desa Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu 14 Maret 2018.

Rukka mengatakan, dari 17 juta jiwa anggota AMAN, terdapat 12 juta warga yang memiliki hak pilih. "Satu juta suara itu besar, dan ini merugikan kelompok masyarakat adat," kata Rukka.

Masyarakat adat yang terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya sebagian besar karena tinggal di wilayah yang sulit terjangkau oleh pemerintah. Mereka juga terganjal oleh adminsitrasis kependudukan, sebagian mereka tidak memiliki E-KTP, syarat yang dipakai saat penentuan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

"Sulit bagi wakil masyarakat adat untuk memenangkan pertarungan karena kita terbagi-bagi. Misalnya, dalam satu masyarakat adat terbagi dalam pemetaan daerah pilihan, terkait pembagian adminstratif," kata dia.

Alasan lain yang juga dianggap serius dalam memenangkan pertarungan dalam pemilihan umum adalah praktik transaksi politik uang antara partai politik dan pemodal. Dalam situasi ini, posisi masyarakat adat menjadi arena jual-beli suara atau komoditi politik.

"Hal ini menjadi permasalahan kepentingan ketika perusahaan yang merampas tanah wilayah adat juga mendukung suatu partai politik," ujar Rukka.

Anggota Dewan AMAN Nasional, Abdon Nababan, menguraikan benang kusut partisipasi masyarakat adat dalam Pemilu, juga  Pilkada. Ia menerangkan politik uang sangat mengkhawatirkan, disertai politik identitas yang menyertainya karena berhubungan dengan wilayah adat.

"Fakta saat ini bahwa liberalisasi politik telah berhadapan dengan demokrasi yang ada pada masyarakat adat, musyawarah mufakat. Hal ini melahirkan kesenjangan antara demokrasi masyarakat adat dengan demokrasi pasar bebas atau liberal," papar dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.