Sukses

KPAI Soroti Kasus 2 Siswa Dikeluarkan dari SMAN 1 Semarang

KPAI akan segera bersurat kepada Gubernur Jawa Tengah dan Kepala Dinas Pendidikan Provisi Jateng terkait kasus dua siswa dikeluarkan dari SMAN 1 Semarang.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sedang mendalami kasus pengeluaran dua siswa SMAN 1 Semarang, Jawa Tengah, secara sepihak karena diduga melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap siswa junior dalam kegiatan latihan dasar kepemimpinan pada November 2017.

Dugaan kekerasan tersebut terungkap dari video yang ada di telepon genggam siswa lainnya saat sekolah menggelar razia terhadap telepon seluler (ponsel) siswa.

"Demi kepentingan terbaik anak, KPAI akan mendalami kasus ini dan berkoordinasi segera dengan pihak-pihak terkait," ucap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti di Jakarta, Kamis, 1 Maret 2018, dilansir Antara.

KPAI menyampaikan keprihatinan atas peristiwa pengeluaran Anin dan Afif oleh SMAN 1 Semarang, mengingat kedua siswa itu berada di kelas akhir.

"Sebagai siswa kelas XII, seharusnya saat ini keduanya sedang menempuh ujian praktik dan bersiap mengikuti ujian sekolah, USBN dan UNBK. Logikanya, seluruh data dapodiknya sudah berada di SMAN 1 Semarang dan sudah sulit pindah data ke sekolah lain," katanya.

KPAI akan segera bersurat kepada Gubernur Jawa Tengah dan Kepala Dinas Pendidikan Provisi Jateng untuk meminta penjelasan terkait dengan prosedur mengeluarkan siswa. Intinya, sesuai atau tidak dengan tata tertib sekolah dan sejalan dengan standar operasional prosedur dalam mengeluarkan siswa pelanggar tata tertib sekolah.

Selain itu, KPAI akan meminta penjelasan, pertimbangan apa yang digunakan sekolah dalam mengeluarkan dua siswa kelas XII SMAN 1 Semarang itu. Terlebih, keduanya akan menempuh ujian akhir dalam dua bulan mendatang.

KPAI akan menemui para siswa yang dikeluarkan tersebut maupun tujuh siswa yang menerima skors dalam kasus yang sama.

"KPAI akan menanyakan langsung kronologi kejadiannya dari mulai LDK (latihan dasar kepemimpinan) sampai pemecatan siswa oleh pihak sekolah. Penjelasan para siswa akan dikonfirmasi dengan penjelasan pihak sekolah," ujar Retno.

KPAI mengingatkan, sekalipun seorang anak terbukti bersalah atau melanggar aturan sekolah sekalipun, hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan harus tetap dijamin oleh Negara, dalam hal ini pemerintah provinsi dan jajarannya. Apalagi, dua siswa SMAN 1 Semarang yang dikeluarkan sudah berada di kelas akhir.

"Seharusnya kedua anak tersebut sibuk mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir. Namun, saat ini justru sibuk memperjuangkan nasibnya," katanya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Anin dan Afif Pernah Alami Kekerasan oleh Senior

Anin dan Afif yang dikeluarkan dari SMAN 1 Semarang, Jawa Tengah, atas dugaan melakukan kekerasan terhadap juniornya, mengaku pernah mengalami kekerasan juga dari para seniornya.

"Setiap ada kesalahan yang dilakukan selalu ada hukuman kontak fisik, untuk melatih disiplin," kata Anin ketika ditemui usai mengadu kepada Bambang Sadono, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Jawa Tengah di Semarang, Rabu, 28 Februari 2018, diwartakan Antara.

Anin tidak datang sendiri, melainkan didampingi orangtuanya, termasuk orangtua Afif, beserta wali siswa lain yang merasa prihatin atas keputusan sekolah yang mengeluarkan Anin dan Afif. Sementara Afif tidak bisa datang karena sakit.

SMAN 1 Semarang mengeluarkan Anin dan Afif yang juga pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) karena dugaan kekerasan terhadap juniornya saat kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK) OSIS.

Tidak hanya mengeluarkan dua siswa tersebut, sekolah juga memberikan sanksi skorsing kepada sembilan siswa lain yang juga pengurus OSIS yang menangani kegiatan LDK OSIS yang sudah berlangsung pada November 2017.

Namun, Anin mengaku yang dimaksud hukuman kontak fisik bukanlah dalam bentuk kekerasan fisik, sebagaimana dilakukannya dengan penamparan kecil terhadap juniornya yang membuatnya bersama Afif dikeluarkan dari SMAN 1 Semarang.

"Saya cuma menampar begini, tidak keras," ujar AN, sembari memeragakan adegannya menampar yang terekam dalam telepon seluler pengurus OSIS yang didapatkan dari razia yang dilakukan sekolah menyikapi laporan dugaan kekerasan.

 

3 dari 4 halaman

Orangtua Afif Menilai Keputusan Tidak Adil

Suwondo, orangtua Afif menilai keputusan sekolah tidak adil, mengingat selama ini anaknya tidak pernah melakukan pelanggaran. Sementara, akumulasi poin pelanggaran terhadap anaknya didapatkan hanya pada kegiatan LDK itu.

"Kalau dikatakan kepala sekolah setiap anak punya buku tata tertib berikut poin pelanggaran tidak betul. Saya baru dapat kemarin, sementara Pak Shodiqin (orangtua Afif) malah belum dapat," katanya, diamini Muhammad Shodiqin, dilansir Antara.

Mereka akan terus memperjuangkan nasib anaknya yang mendapatkan perlakuan tidak adil dari sekolah, dan setelah ini akan mengadu ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Jateng.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKN) Profesor Mungin Eddy Wibowo mengatakan setiap persoalan pasti ada penyebabnya. Termasuk, kasus dugaan kekerasan terhadap junior yang berakibat dua siswa dikeluarkan dari SMAN 1 Semarang.

Justru yang paling penting, kata dia, menelusuri penyebab dugaan kekerasan jika memang benar terjadi dalam kegiatan LDK sebab dimungkinkan tindakan yang sama juga diperoleh dua siswa itu ketika mereka masih junior.

"Kan mesti ada penyebabnya, apakah mungkin balas dendam karena saat jadi junior pernah diperlakukan begitu, atau penyebab lain. Ini penting sekali. Apalagi, kegiatannya juga sudah lama, sekolah harus lebih bijaksana," katanya.

Selain itu, Kepala Program Studi Konseling Pascasarjana Unnes itu mengatakan, sanksi mengeluarkan dari sekolah juga terlalu tergesa-gesa diambil, apalagi baru pertama melakukan pelanggaran dan sudah duduk di kelas XII yang bersiap menghadapi UN.

 

4 dari 4 halaman

SMAN 1 Semarang Sebut Hanya Jalankan Sanksi

Usai mengeluarkan dua siswa dengan tuduhan bullying, SMA Negeri 1 Semarang belum bersedia merinci peristiwa faktual yang terjadi. Sekolah berjanji akan menyampaikan kepada publik secara utuh.

Menurut Masrochan, Wakil Kepala Sekolah Bagian Hubungan Masyarakat, pihaknya sengaja diam agar tak banyak pertanyaan dengan cara terpisah.

"Sejak tadi sudah ada wartawan. Kami akan memberikan press release. Agar dalam menjelaskan bisa bersamaan," kata Masrochan, Senin, 26 Februari 2018, dikutip Liputan6.com.

Saat ini, sekolah masih repot dengan memanggil orangtua siswa dan juga berkoordinasi dengan beberapa instansi. Selain itu, pihak sekolah juga dipanggil oleh beberapa pihak, terkait kasus mengeluarkan anak didiknya itu.

"Kepala sekolah akan memberi waktu khusus. Saat ini agenda masih padat jadi belum bisa mengagendakan," katanya.

Secara umum, Masrochan membantah telah mengeluarkan dua siswa tersebut. Yang dilakukan sekolah adalah bagian dari pembinaan yang disebut berhubungan dengan jumlah poin siswa yang sudah mencapai batas.

"Sekolah sudah mengundang orangtua siswa. Menjelaskan kegiatan yang dilakukan siswa dan poin yang diterima," kata Masrochan.

Undangan terhadap orangtua siswa itu dilakukan agar tak ada peristiwa dua siswa dikeluarkan. Ia juga menjamin kedua siswa SMA Negeri 1 Semarang yang dikeluarkan tidak akan ditelantarkan.

"Kedua anak tersebut nantinya difasilitasi ke sekolah negeri, yakni SMA 13 dan SMA 11 Semarang. Apalagi, mereka sudah melapor ke sana kemari," kata Masrochan.

Faktanya, kedua siswa itu belum berangkat ke sekolah tersebut. Masrochan mengklaim bahwa orangtua siswa yang dianggap bermasalah, yakni Afif dan Anin, sudah menerima kebijakan itu. Intinya, meski tak lagi bersekolah di SMA Negeri 1 Semarang, dua siswa itu tak dikeluarkan, tapi menjalani sanksi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.