Sukses

Kejari Surabaya Terima Pelimpahan Perkara Perawat Lecehkan Pasien

Ada dua jaksa yang ditunjuk untuk meneliti berkas kasus dugaan pelecehan seksual pasien oleh perawat di RS National Hospital Surabaya.

Liputan6.com, Surabaya - Kejaksaan Negeri Surabaya, Jawa Timur, menerima berkas perkara dari penyidik Polrestabes Surabaya terkait kasus dugaan pelecehan seksual oleh perawat Rumah Sakit National Hospital Surabaya kepada salah seorang pasien perempuan.

Kasipidum Kejari Surabaya, Didit Adyotomo, mengatakan pihaknya menerima berkas perkara tersebut dan masih meneliti berkas. "Ada dua jaksa yang ditunjuk untuk meneliti berkas. Salah satunya adalah Damang Anubowo dan masih diteliti oleh jaksanya," ucap dia di Surabaya, Rabu, 14 Februari 2018, seperti dilansir dari Antara.

Sebelumnya, perawat laki-laki berinisial JA (30) diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasien Rumah Sakit National Hospital Surabaya dengan meraba payudara korban.

Kejadian itu terungkap melalui video berdurasi 52 detik yang sempat viral di media sosial. Dalam video, korban menceritakan kejadian itu di hadapan beberapa perawat RS National Hospital, Surabaya.

Sebelum ditangkap polisi, JA sempat jadi buron hingga keberadaannya diketahui anggota Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polrestabes Surabaya, di sebuah hotel di Kota Surabaya.

Tersangka pelecehan seksual berinisial JA dijerat polisi dengan Pasal 290 ayat 1 KUHP mengenai perbuatan cabul kepada orang yang tidak berdaya, dengan ancaman hukuman paling lama tujuh tahun penjara.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tangisan Perawat yang Lecehkan Pasien Usai Jadi Tersangka

JA (30), perawat Rumah Sakit (RS) National Hospital Surabaya yang melecehkan pasien perempuan berinisial W (32), kini resmi menjadi tersangka.

Kapolrestabes Surabaya, Kombes Rudi Setiawan, menuturkan penetapan tersangka sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Sebelum menentukan perkara, penyidik terlebih dahulu melakukan gelar perkara dengan dibantu pengawas internal.

"Pelaku kami jerat dengan Pasal 290 KUHP. Terkait pencabulan orang yang dalam kondisi lemah," tuturnya, Sabtu, 27 Januari 2018, kepada Liputan6.com.

Dalam perkara ini, penyidik mengumpulkan minimal dua alat bukti yang masuk pada kategori alat bukti paling kuat. "Kami sudah mengamankan barang bukti. Dan akan terus dicari barang bukti lain. Agar dapat melengkapi berkas perkara," katanya.

Menurut Rudi, barang bukti tersebut bisa termasuk petunjuk. Ada pula keterangan saksi-saksi. "Bisa dijadikan alat bukti," ucapnya.

Peristiwa pelecehan seksual, kata Rudi, terjadi saat pasien baru selesai dibius. Perawat yang sudah dipecat itu merupakan asisten dari dokter. "Saat itu dia terangsang," ujarnya.

Tangis Tak Terbendung

Usai insiden pelecehan seksual terjadi, polisi mengimbau agar rumah sakit memperketat pengawasan internal. Apalagi, pasien yang menjalani operasi biasanya hanya mengenakan pakaian seadanya.

"Potensinya sangat besar untuk terjadi tindak pidana saat itu," ucap Rudi.

Sementara itu, JA mengakui perbuatan tercelanya tersebut. "Baru satu kali ini dan saya menyesal," kata perawat tersebut.

Tidak lama setelah itu, tangis perawat cabul itu pecah. Dia tidak bisa lagi menampung bendungan air matanya.

Secara terbuka, perawat tersebut memohon maaf kepada korban beserta keluarganya. Ia juga meminta maaf kepada teman-teman kerja serta seluruh perawat di rumah sakit.

"Saya juga minta maaf kepada keluarga saya, istri, dan ibu," ujar mantan perawat itu seraya sesenggukan menangis.

 

3 dari 3 halaman

Perawat di Surabaya Laporkan Balik Pasien Tuduh Pelecehan Seksual

Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan perawat JA terhadap pasien di RS National Hospital Surabaya berbuntut panjang. Istri JA, Winda Rahmawati, melaporkan balik pihak pasien atas tuduhan dugaan pencemaran nama baik.

Laporan tersebut diterima dengan nomor LP/213/II/2018/Bareskrim tertanggal 10 Februari 2018. Pihak terlapor, yakni Widya (pasien diduga korban pelecehan seksual) dan suaminya, Yudi Wibowo Sukinto, diduga melanggar Pasal 27 dan 29 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Winda melaporkan Widya dan Yudi lantaran diduga telah memfitnah dan mencemarkan nama baik suaminya dengan mengunggah potongan video permohonan maaf perawat JA di media sosial. Apalagi video itu diambil Yudi secara diam-diam.

"Suami saya baru menyadari suami pasien merekam. Jadi, sebelumnya enggak ada izin untuk merekam. Tanpa sepengetahuan dan tanpa izin terlebih dulu," ujar Winda di Bareskrim Polri, Gedung KKP, Gambir, Jakarta Pusat, Senin, 12 Februari 2018, dikutip Liputan6.com.

Dalam peristiwa itu, ucap Winda, JA dipaksa mengaku telah melakukan pelecehan seksual terhadap pasien. JA tidak bisa berkutik lantaran terpojok dalam situasi itu.

Menurut Winda, ada dialog yang cukup panjang antara JA, dua terlapor, dan saksi yang ada di lokasi. Dalam kesempatan itu, Yudi secara diam-diam merekam percakapan. Namun, hanya pada bagian JA menyalami pasien dan keluarganya sambil mengaku khilaf yang diviralkan di media sosial.

"Sebelum di video itu ada dialog yang sebelum direkam. Ada bukti rekaman. Suami saya disuruh ngaku, ditekan disuruh ngaku, nanti masalah ini selesai," kata dia.

Pengacara Winda, Gerardus Gegen, mengatakan pihaknya menduga ada fakta yang disembunyikan dalam kasus dugaan pelecehan seksual ini. Apalagi kasus tersebut dinilai tak kunjung menemui titik terang.

Belum lagi majelis etik keperawatan yang menyatakan JA tak melakukan pelecehan seks sebagaimana dituduhkan. Pihaknya menilai ada ketidakadilan dalam pemberitaan kasus ini.

"Makanya kami dari korps perawat bantuan hukum, ada suatu hal yang kami perjuangkan," ucap Gerardus.

Mengadu ke DPR

Selain membuat laporan kepolisian, JA dan tim advokasi Korps Perawat telah mengadu ke Komisi IX DPR dan Ombudsman terkait kasus ini.

Mantan anggota Kompolnas, M Nasir, yang ikut mendampingi menuturkan, pihaknya menyesalkan publikasi rekaman yang dilakukan suami pasien. Apalagi video yang diunggah tidak utuh.

"Kenapa sampai diunggah. Dari sisi pidana tidak benar. Itu pelanggaran Pasal 27 khususnya ayat 3 secara melawan hak melakukan pencemaran nama baik," ucap Nasir.

Nasir menemukan fakta di lapangan bahwa 70 persen pengguna obat general anestesi memiliki efek halusinasi seksual. Banyak kasus yang terjadi di dunia medis terkait kesalahpahaman yang ditimbulkan dari pasien yang mengonsumsi obat tersebut.

"Banyak jenis obat bius yang bisa menyebabkan halusinasi. Tidak hanya obat bius, tapi obat sedatif juga. Sebelum operasi kita dibuat tenang, tidak tahu. Itu juga berakibat berhalusinasi seksual," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.