Sukses

Sindiran di Balik Lakon Penari Jathil Reog Ponorogo

Tugasnya menarik penonton dalam pertunjukan reog Ponorogo. Namun, ada rahasia di balik penari jathil perempuan berpakaian lelaki ini.

Liputan6.com, Surabaya - Jika Anda sering melihat pertunjukkan reog, tentunya bertanya-tanya siapa saja personel dalam pertunjukkan kesenian khas Ponorogo ini. Selain dadak merak berkepala singa yang menjadi sentra pertunjukan, ada pula jathil yang ditarikan sekelompok penari perempuan.

Ada warok, ada pula bujangganong, dan Prabu Klono Sewandhana yang memakai topeng saat menari.

Penari jathil ditarikan sekelompok wanita, tetapi berpakaian lengkap seperti prajurit bahkan membawa kuda lumping atau eblek. Dulu, penari jathil dilakoni penari pria, bukan wanita seperti sekarang ini.

Hal ini diungkapkan oleh penggiat seni, Sudirman. Adanya penari jathilan Reog Ponorogo versi Ki Ageng Kutu untuk menyindir prajurit Majapahit yang tidak memiliki sifat heroik, sifat keprajuritan, dan pemberani, jadi dibuatlah satir atau sindiran.

"Tarian jathilan dilakukan oleh laki-laki yang masih muda dan gagah tapi gerakannya lemah gemulai, cantik. Kok lucu sih pakaiannya laki-laki kok gerakannya kayak perempuan, ini yang dijadikan sindiran untuk para prajurit Majapahit," tuturnya kepada Liputan6.com, Senin, 22 Januari 2018.

Namun, sekitar 1970, penari jathil Reog Ponorogo yang biasanya dilakukan pria kini dilakoni penari wanita. Menurut Dirman, sapaannya, perubahan ini karena tradisi 'gemblak' yang 'mencetak' penari jathil kini tak lagi terdengar gaungnya di kalangan masyarakat.

"Gemblak sendiri merupakan tradisi yang ada sejak turun-temurun," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sebab Hilangnya Penari Jathil Pria

Tradisi gemblak yakni tradisi saat seorang anak laki-laki berusia antara 12-17 tahun, harus tampan, kulitnya bersih, dan berpakaian rapi. Kemudian dipinang oleh seorang warok, gemblak dijadikan sebagai anak angkat selama dua tahun.

"Orangtua anak yang digemblak akan diberi upah satu ekor lembu atau sawah garapan," ucapnya.

Para gemblak ini harus tampan karena akan dijadikan penari jathilan sebagai maskot atau pemikat dalam reog tersebut. "Makanya gemblak di sini harus tampan," ujarnya.

Dirman sendiri pernah menjadi gemblak seorang warok. Dia bersyukur pernah menjadi pelaku seni pelestari kesenian reog pada tahun 1970-an.

Saat ia menjadi gemblak, ia hidup bagaikan selebritas. Mulai dari pakaian yang istimewa, harus selalu pakai kaos kaki dan sandal di mana pun berada agar menjaga kebersihan kaki.

"Diajari pula sopan santun, tata krama dan sebagainya," tuturnya.

Namun seiring berjalannya waktu, sesuai instruksi Presiden sekitar tahun 1980 banyak dibangun SD Inpres di tiap desa sehingga anak-anak mulai bersekolah. Tradisi gemblak pun mulai menghilang.

"Kalau dulu kan tahun 1970an anak-anak itu menganggur tidak ada kegiatan, jadi ikut dijadikan gemblak," kata dia.

Akibat menghilangnya tradisi gemblak, akhirnya penari jathil mulai dilakoni penari wanita. Hal ini untuk menjaga kelestarian Reog Ponorogo. "Meski gemblak menghilang, jathil harus tetap ada di pertunjukkan reog akhirnya dirubahlah jadi seorang wanita," Dirman menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.