Sukses

Catatan Mengharukan Mahasiswa Undip di Negara Miskin Afrika

Pemandangan di Benin, Afrika, hanya berupa lahan pertanian yang kekeringan. Mahasiswa Undip turut dalam rombongan lawatan internasional.

Liputan6.com, Semarang Ari Prima adalah mahasiswa program doktoral Universitas Diponegoro Semarang. Ia terpilih bersama 25 mahasiswa lain dari seluruh dunia untuk membantu upaya perbaikan gizi di sebuah negara miskin di Afrika mulai 3-25 November 2017.

Menurut Ari Prima, Republik Benin bukanlah negara terkenal. Bahkan, negara miskin di Afrika Barat ini benar-benar tak diketahuinya sampai ia berangkat ke sana.

"Butuh 22 jam penerbangan dari Jakarta untuk sampai ke Benin," kata Ari Prima.

Di negara miskin itu, 25 mahasiswa program doktoral dari berbagai negara dengan latar belakang berbagai disiplin ilmu dikumpulkan. Acara itu sendiri diadakan dan dibiayai Food Security Center yang berbasis di Universitas Hohenheim, Jerman, bekerja sama dengan Universitas Abomey Calavi, Republik of Benin.

"Dari program itu, kami melihat langsung pengaruh perubahan iklim terhadap sumber daya air. Apa saja pengaruhnya kami diskusikan untuk bisa menjadi solusi bagi dunia," kata Ari Prima, Minggu (17/12/2017).

Dalam kunjungan lapangan itu, nyaris pemandangan yang terlihat hanya berupa lahan pertanian yang kekeringan karena ketiadaan infrakstruktur pengairan dan sulitnya sumber air. Efek berikutnya adalah produksi tanaman pangan banyak yang gagal dan mengancam keamanan pangan di Afrika.

"Kami didampingi Prof Ricardo Radulovich dari Universitas Kostarika yang mempresentasikan kondisi faktual yang kami lihat," kata Ari.

Usai menyaksikan kondisi faktual di lapangan, Ari dan 25 mahasiswa lainnya itu berdiskusi tentang status nutrisi dan dampaknya, seperti kerdil dan kurang gizi serta obesitas. Tentu saja dikaitkan dengan isu-isu internasional tentang perjanjian perdagangan internasional, kesenjangan gender, penggusuran lahan pertanian oleh investor, dan dampaknya terhadap keamanan pangan.

"Kami akhirnya menemukan seorang wanita yang berjuang sendirian membuat makanan untuk anak-anak kurang gizi. Dia berkarya di Kota Cotonou, ibu kota Republik of Benin," kata Ari.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Melihat Sejarah Perbudakan

Inisiatif perempuan itu ternyata berdampak panjang. Hanya sepekan anak-anak malanutrisi itu mengonsumsi produk makanan berbahan lokal, ternyata kondisinya sangat membaik. Adalah Prof Frederike Bellin Sesay dari Universitas Giesen, Jerman, yang bertugas mendampingi.

Menariknya, meski berada di negara miskin yang harus dibantu penataan nutrisi anak-anaknya, ternyata Republic of Benin memiliki desa wisata. Namanya Oiudah, sebuah desa di tepi laut Samudra Atlantik. Di desa ini sejarah perbudakan oleh Portugis dan Prancis bermula. Ada sebuah gerbang yang mereka sebut “the door of no return”.

"Di tempat ini budak-budak yang telah diangkut ke kapal dan dikirim ke negara-negara jajahan Portugis dan Prancis untuk dijadikan buruh tidak akan pernah dapat kembali lagi," kata Ari.

Di Danau Noque, yang dikenal sebagai Venesia Van Africa, ada 7000 orang yang hidup dengan transportasi perahu. Dari sana Ari mengaku belajar tentang kearifan lokal dalam penataan lingkungan.

Bagaimana dengan tugas asistensi perbaikan nutrisi bagi anak-anak?

"Kami melakukan dengan mempelajari cara kerja perempuan di kota di Cotonou, ibu kota Republik of Benin. Semua mengandalkan bahan lokal. Dan nyatanya berhasil," kata Ari. (vio)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.