Sukses

Tradisi Begalan di Gereja Katedral Purwokerto

Hadirnya tradisi begalan di Gereja Katedral Purwokerto untuk pertamakali dinilai sebagai langkah baik untuk mengenalkan budaya keberagaman

Liputan6.com, Purwokerto - Senyum manis menghiasi wajah dua calon mempelai, Anastasya Chintya Angelina (25) dan Anderas Nugroho Pandu (33). Ini adalah hari bahagia dan bersejarah untuk mereka. Di rumah Tuhan, mereka berjanji mengikat sehidup semati, Minggu, 19 November 2017.

Khusus di hari bersejarah itu, keluarga mempelai dan gereja menyajikan sesutu yang berbeda. Mereka mengetengahkan tradisi begalan di halaman Gereja Katedral Purwokerto. Dan ini adalah untuk pertama kalinya tradisi begalan dihelat di halaman Gereja Katedral Purwokerto. Nuansa keberagaman amat terasa dalam prosesi sakral itu.

Tidak tanggung-tanggung, tiga seniman Banyumas, yakni Titut Edi Purwanto dari Padepokan Cowong Sewu, Joni S Supriyana dan perupa senior Hadi Wijaya ambil bagian memperagakan begalan. Ketiganya, adalah sohib kental sang mempelai, Pandu, yang juga seorang jurnalis.

Mereka bersepakat, menggelar tradisi begalan yang kini jarang digelar di pernikahan-pernikahan masyarakat Banyumas. Popularitas tradisi begalan cenderung redup, kalah populer dibandingkan organ tunggal atau panggung dangdut, yang lebih instan.

Dalam gelaran itu, Titut memperagakan lakon Rekaguna, pembegal berbaju hitam yang bersenjatakan pedang kayu yang disebut wlira. Sementara, Joni Supriyanta adalah pembawa barang-barang (peralatan dapur) yang bernama Gunareka didampingi oleh Hadi Wijaya.

Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring. Barang bawaan ini biasa disebut brenong kepang.

"Setahu saya ini pertama kalinya. Untuk melestarikan budaya lokal dan menghadirkan keberagaman," ujar Pandu, seusai prosesi pernikahan.

Seniman Banyumas, Titut mengatakan Begalan ini dilakukan pada acara pernikahan terutama pada pernikahan yang calon pengantin lelaki yang dalam silsilah keluarga menjadi anak sulung atau anak bungsu. Ini sejalan dengan tradisi fase rumah tangga selanjutnya, seperti upacara mitoni, ngruwat, tumpengan dan lain sebagainya.

Menurut dia, begalan merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mitologi Tradisi Begalan Banyumas

Titut menerangkan, begalan merupakan karya leluhur Banyumas yang bermakna agar para anak cucu masyarakat Banyumas senantiasa selamat dalam membangun kehidupan rumah tangga. Dalam begalan, ada wejangan sesepuh yang ditujukan kepada mempelai pasangan pengantin.

"Dengan melakukan begalan, dipercaya dapat membawa kebaikan bagi pasangan pengantin ketika kelak mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Seperti dihindarkan dari masalah berat dan juga dimudahkan rezekinya," Titut menjelaskan.

Titut menerangkan kisah itu bisa dimaknai agar kedua mempelai menjalankan perilaku yang lurus dan tak menyalahi tata krama.

Di berbagai literatur, mitologi munculnya tradisi begalan terjadi sejak Pemerintah Bupati Banyumas ke-XIV, Raden Adipati Tjokronegoro (tahun 1850). Syahdan, Adipati Wirasaba, Purbalingga hendak mengawinkan putri bungsunya Dewi Sukesi dengan Pangeran Tirtokencono, putra sulung Adipati Banyumas.

Sepekan setelah prosesi pernikahan, Adipati Banyumas hendak memboyong kedua mempelai dari Wirasaba ke Kadipaten Banyumas, dalam ritual ngunduh temanten. Dalam perjalanan itu, merekea menyeberangi Sungai Serayu dengan perahu tambang.

Perjalanan aman hingga menyeberangi Sungai Serayu. Namun, saat menyusuri hutan angker mereka dihadang oleh seorang begal (perampok) berbadan tinggi besar layaknya raksasa. Ia hendak merampas semua barang bawaan rombongan pengantin. Lantas, terjadilah pertarungan seru antara para pengawal melawan begal raksasa. Akhirnya, begal berhasil dikalahkan. Si begal lari ke dalam hutan wingit.

Hadirnya tradisi begalan di Gereja Katedral Purwokerto untuk pertama kali dinilai sebagai langkah baik untuk mengenalkan budaya keberagaman. Pegiat sosial, Yudi Setyadi mengaku takjub dengan semangat kedua mempelai dan keluarganya untuk menghadirkan nuansa keberagaman.

"Selamat buat Mas Pandu, semoga langgeng," kata Yudi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.