Sukses

Horor Sejak Pagi di Jembatan Gondola Segera Berlalu

Sejak 50 tahun lalu, warga dua desa kawasan Sungai Ranteangin, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, mendambakan jembatan.

Liputan6.com, Kolaka Utara - Selama puluhan tahun, sejak pagi hingga sore hari, warga di Desa Tinokari, Kecamatan Wawo dan warga Dusun IV, Desa Maroko, Kecamatan Ranteangin di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, selalu dilanda keresahan.

Jatuh dan terseret derasnya Sungai Ranteangin, lalu hilang di antara bebatuan. Inilah kekhawatiran 47 kepala keluarga di dua desa tersebut setiap pagi.

Kehidupan di dua desa ini sejak 50 tahun lampau memang hampir tidak berubah. Bila sempat mampir di wilayah ini, perasaan sedih bercampur khawatir akan terlintas begitu melihat anak kecil dan orang dewasa bergelantungan melintasi tali untuk menyambung hidup.

Seutas tali itu sudah digunakan warga untuk menyeberangi dua desa itu sejak puluhan tahun lamanya. Dahulu, sebelum memakai jembatan tali, warga menggunakan rakit dari batang pisang dan bambu.

Jika hujan deras berhari-hari, sungai akan banjir dan arusnya kencang. Transportasi terputus dari Desa Maroko, Kecamatan Ranteangin menuju Desa Tinokari, Kecamatan Wawo yang terhubung dengan jalan poros menuju Kecamatan Lasusua, ibu kota Kabupaten Kolaka Utara.

Bila hujan sudah deras, harapan pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Desa Maroko, Kecamatan Ranteangin, Kolaka Utara, untuk belajar di sekolah yang letaknya di Desa Tinokari, Kecamatan Wawo, juga terpaksa harus ditunda demi keselamatan. Jika memaksa, nyawa ancamannya.

Jembatan Gondola

Jembatan itu sering disebut gondola oleh warga setempat. Membentang sepanjang 50 meter di atas sungai yang memisahkan kedua desa.

Bentuk jembatannya seperti lift. Memiliki pijakan, namun tidak memiliki penghalang pada setiap sisinya. Gondola ini ditarik mendatar dengan menggunakan seutas tali. Bukannya ditarik menggunakan mesin, tapi hanya memakai tenaga manusia.

Desa Maroko yang sering disebut Dusun IV oleh warga setempat, mulai dibuka untuk bertani sekitar era 80-an. Awalnya dihuni sekitar 100 kepala keluarga. Kini, jumlah itu semakin berkurang menjadi 47 kepala keluarga.

Banyak warga lebih memilih pindah di desa lain demi faktor keamanan dan anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang baik. Jalur transportasi darurat tersebut membuat mereka memilih menghindari marabahaya.

Warga yang tinggal di Desa Wawo, merupakan masyarakat petani cengkih dan kakao. Hasil panennya cukup besar setiap tahun. Untuk memasarkan dua komoditas ini di Kecamatan Lasusua, ibukota kabupaten Kolaka Utara, mereka harus menerjang bahaya.

Sepintas dilihat, jembatan yang dibuat dari tali itu ternyata mirip flying fox dengan standar keamanan yang minim. Supaya bisa dipakai menyeberang, seutas tali ini, digantungkan tempat pijakan dari kayu dan bambu.

Sering diganti karena lapuk Oleh Kodim Kolaka, pasak pijakan kayu sudah diganti dengan pasak besi. Kata Dandim Kolaka, Let Kol Inf Seniman Zega SH, lebih aman meskipun belum menjamin keselamatan.

Jembatan ini memiliki dua ujung. Satu ujungnya diikatkan dideretan pohon kelapa di Dusun IV, Desa Maroko. Sedangkan ujung lainnya, diikatkan di Desa Tinokari, Kecamatan Wawo, Kolaka Utara.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

TNI Turun Tangan

Sejak awal Oktober 2017, pihak TNI melalui jajaran Kodim Kolaka mulai bersikap dengan jembatan tali ini. Dasarnya, pihak Kodim kerap terharu menyaksikan semangat warga yang bolak-balik menyeberang sungai via tali.

TNI prihatin melihat kondisi menyedihkan setiap hari. Sebab, setiap pagi, menggunakan pakaian seragam sekolah, belasan siswa sekolah dasar (SD) seperti tidak menyimpan rasa gentar dengan derasnya air sungai.

Sejak fajar menyingsing, hingga menjelang pukul 18.00 Wita di sore hari, mereka akan bergantian menyeberang di atas sungai sepanjang 50 meter. Juga bagi puluhan petani cengkih dan kakao di dusun IV, sama mencekamnya ketika mereka harus mengangkut hasil kebunnya untuk dijual di pasar.

Para petani menggantungkan kendaraan roda dua (sepeda motor) di atas gondola. Mereka terpaksa harus melintasi sungai yang membelah dua desa itu untuk menyambung hidup keluarga.

Musim hujan menjadi momen paling mengkhawatirkan. Jika tak waspada, bisa-bisa terseret arus sungai yang cocok dijadikan lokasi wisata arung jeram.

"Melihat kondisi ini, saya mewakili TNI mengambil keputusan untuk mengatasi kesulitan rakyat di wilayah tanggung jawab saya," ucap Komandan Kodim Kolaka, Letkol Inf Seniman Zega, Selasa, 14 November 2017.

Ia menjelaskan, pembangunan jembatan gantung diawali dari upaya pihak Kodim Kolaka. Seiring berjalannya waktu, pembangunan jembatan kemudian mendapat perhatian beberapa pengusaha dan lembaga pemerhati masyarakat.

"Akhirnya karena ikut merasakan kesusahan warga, mereka membantu dan siap menyediakan bahan pembangunan jembatan," ujar Seniman Zega.

3 dari 3 halaman

Jembatan Baja Hampir Rampung

Atas bantuan uluran tangan beberapa pengusaha, jembatan sepanjang 70 meter itu kini sudah nyaris rampung. Susunan jembatan terbuat dari rangka baja dan besi. Dibuat sejak awal Oktober lalu, penyelesaian pembangunan jembatan sudah mencapai 90 persen.

Jembatan itu, kini lebih aman. Memiliki pembatas di bagian kiri dan kanannya. Selain pembatas, juga ada pijakannya. Lebih aman karena semua terbuat dari baja dan bisa dilalui oleh kendaraan roda dua maupun kendaraan roda tiga. Adapun pembatas jembatan dan bahan landasan telah didatangkan dari Bogor, Jawa Barat.

"Tinggal menunggu pemasangan dan teknisi yang katanya namanya Mr Tonny, rencana minggu ketiga bulan ini," kata Sersan Kepala (Serka) Darwis.

Rangka jembatan dirakit di Bogor, Jawa Barat. Teknisi pun didatangkan langsung dari Bogor untuk memasang landasan. Sejauh ini, pihak TNI dan warga bekerja bahu-membahu membangun jembatan.

Kiprah Serka Darwis

Sejak 2012, jembatan ini ternyata sudah memiliki seorang "penunggu". Namanya Serka Darwis, seorang Babinsa TNI yang ditugaskan menjadi petugas di wilayah itu.

Tugas Serka Darwis, yakni bersiaga di depan jembatan yang menghubungkan dua desa. Tanpa bosan-bosannya, Serka Darwis sudah memulai "lembur" sejak pagi buta hingga sore hari sejak tahun 2012. Menarik warga yang menyeberang dari Desa Maroko, Kecamatan Ranteangin menuju Desa Tinokari, Kecamatan Wawo.

Sempat terhenti hingga akhir 2015 karena tugas lain di bidang pendampingan pertanian, Serka Darwis kemudian melanjutkan pekerjaannya sejak awal 2016 hingga saat ini.

Serka Darwis malah sudah menghafal wajah, jam menyeberang, dan barang bawaan semua penduduk Dusun IV. Bintara TNI Pembina Desa yang dikenal tabah oleh komandannya itu, menyeberangkan warga yang bolak-balik di dua desa.

"Mulai jam 6.00 Wita pagi sampai jam enam sore, kita kadang kerjanya cuma tarik warga yang mau menyeberang. Syukur kalau ada warga yang membantu, kalau tidak, ya tarik sendiri sampai puluhan kali setiap hari," ujar Serka Darwis.

Dandim 1412/Kolaka Letkol Inf Seniman Zega SH mengatakan, pembangunan jembatan gantung Ranteangin yang digagasnya akan segera rampung. Pembangunan jembatan ini belum ada bantuan pemerintah Kabupaten Kolaka Utara. Semua upaya dari Dandim 1412/Kolaka. Tujuannya bukan gaya-gayaan, hanya membantu mengatasi kesulitan masyarakat.

"Kita dibantu pemerhati masyarakat dan beberapa uluran tangan pengusaha, syukur sudah mau kelar," katanya.

Jika pembangunan rampung, jembatan tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan masyarakat yang selama ini sudah kerepotan. "Apalah arti jika hidup tenang berkecukupan di dalam rumah, sementara banyak tetangga yang berusaha mempertaruhkan nyawa di titian tali untuk menyambung hidup," Dandim Kolaka itu memungkasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.