Sukses

Terbuka, Peluang Dokter Meresepkan Jamu

Di Tiongkok, seorang pengrajin jamu kecil pengobatan herbal bisa memiliki omzet hingga trilyunan rupiah per tahun. Ini devisa tak kecil.

Liputan6.com, Semarang Keberadaan jamu sebagai produk penyembuh dan penjaga kesehatan sudah dirasakan manfaatnya. Namun perkembangannya tak bisa melesat seperti jamu di Tiongkok. Mengapa?

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kendal mencoba mengunjungi pabrik jamu Sido Muncul untuk melihat secara langsung pembuatan berbagai produk jamu. Divisi Hukum IDI Kendal, dr Mohammad Toha menyebutkan bahwa kunjungan itu untuk mengantisipasi diberlakukannya Permenkes 21 tahun 2016.

"Tadi kami sudah mendapatkan presentasi dari Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kemenkes yaitu dokter Ina Rosalina. Ada peluang penggunaan herbal sebagai komplementer obat kimia," kata Mohammad Toha, Rabu (8/11/2017).

Sebelumnya memang ada paparan dari Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kemenkes Dr Ina Rosalina bahwa penggunaan obat herbal sangat dimungkinkan sebagai komplementer dari obat kimia. Tinjauan IDI Kendal ke pabrik jamu Sido Muncul sendiri untuk memastikan pembuatan jamu sudah sesuai dengan standar.

Sementara itu peneliti dari Universitas Diponegoro, Prof Edi Dharmono menyebutkan bahwa pihaknya sudah meneliti jamu sejak 2010 lalu. Menurutnya ada tren mahasiswa kedokteran S1, S2, dan S3 lebih tertarik mempelajari jamu.

"Jamu Indonesia jangan sampai kalah dari negara lain. Kesulitan kita adalah menentukan dosis. Misalnya dua lembar daun sirsak, itu kan nggak bisa. Harus diteliti lagi dosisnya berapa gram dan seterusnya," kata Edi Dharmono.

Ditambahkan oleh Edi bahwa di negeri Tiongkok, seorang pengrajin jamu golongan kecil pengobatan herbal bisa memiliki omzet hingga trilyunan rupiah per tahun. Jika Indonesia tak segera bergerak, sangat disayangkan karena devisa yang semestinya masuk menjadi sia-sia.

Direktur PT Sido Muncul Irwan Hidayat menyambut baik kedatangan para dokter ini. Menurutnya hal itu harus sering dilakukan sehingga jamu benar-benar bisa menjadi pengobatan komplementer, karena regulasi memang sudah memungkinkan.

"Saya malah berharap semakin banyak pihak yang meneliti jamu. Dengan demikian khasiatnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ini devisa lho," kata Irwan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.