Sukses

Sikap Lapang Dada Para Warga Pengolah Merkuri di Sukabumi

Rata-rata warga mulai mengolah merkuri sejak 2016. Namun, ada pula yang sudah mengolah merkuri sejak lima tahun lalu.

Liputan6.com, Sukabumi - Sejumlah warga dari empat kecamatan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat secara sukarela menyerahkan alat pengolahan, bahan baku, dan hasil olahan merkuri (air raksa) kepada polisi. Mereka mendeklarasikan diri untuk tidak lagi mengolah bahan kimia berbahaya tersebut.

Penyerahan dilakukan usai Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Merkuri, di Gedung Olahraga Desa Sukakersa, Kecamatan Parakansalak, Jumat, 3 November 2017. Barang-barang yang diserahkan berasal dari pengolahan merkuri di empat kecamatan, yakni Kecamatan Parakansalak, Kalapanunggal, Cidahu, dan Bojonggenteng.

Kapolres Sukabumi, AKBP Syahduddi mengatakan, sosialisasi dan penyerahan alat pengolahan merupakan tindak lanjut dari rapat koordinasi penertiban merkuri belum lama ini. Warga pengolah sepakat untuk menghentikan aktifitas pengolahan merkuri.

"Ini murni kesadaran masyarakat, mereka ingin menyelamatkan wilayahnya dari pencemaran merkuri dan bahaya kesehatan lainnya terhadap manusia," kata Syahduddi usai memberikan sosialisasi UU Merkuri.

Sejumlah barang yang diserahkan kepada polisi di antaranya 60 tabung pembakaran, tempat penampungan akhir, 10 tempat penyimpanan merkuri, bubuk kapur, kayu bakar, bubuk besi, dan bahan baku merkuri yakni batu sinabar.

Kegiatan sosialisasi juga disertai pembacaan naskah deklarasi penghentian pengolahan dan penggunaan merkuri. Naskah yang berisi lima poin penting dibacakan bersama-sama oleh warga pengolah merkuri, tokoh masyarakat, serta pejabat setempat.

"Yang hadir di sini sekitar 300 orang, termasuk unsur Muspika, koramil, DPRD. Semua berkomitmen menghilangkan merkuri dari wilayah empat kecamatan tersebut," tutur Syahduddi.

Lukmanul Hakim, salah seorang warga yang sebelumnya mengolah merkuri mengaku tidak keberatan dengan komitmen tersebut. Apalagi belakangan ini, bisnis pengolahan merkuri sepi pesanan.

"Dari beberapa bulan lalu pun sudah berhenti beroperasi. Kebetulan baru tahu juga kalau aktivitas pengolahan merkuri itu berbahaya," kata Lukman.

Pria yang mengaku mulai mengolah merkuri sejak 2016 ini memiliki 50 tabung pengolahan merkuri. Semua bahan baku didapat dari pengusaha dari Jakarta.

Lukman menambahkan, pengolahan merkuri di kampungnya berjalan dengan sistem rental atau sewa. Pemilik bahan baku membayar upah sewa seharga Rp 14.000 per 1 kilogram batu sinabar yang akan diolah menjadi merkuri.

"Kalau saya memang baru satu tahun, tapi kalau pengolahan merkuri di Parakansalak sendiri mulai ada sekitar lima tahun belakangan," tutur Lukman.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.