Sukses

Tradisi 3,5 Abad Warga Tanjung Benoa, Memasak Rasa China

Ada pengaruh budaya China yang kental dalam tradisi khas warga Tanjung Benoa yang digelar setiap jelang perayaan Galungan.

Liputan6.com, Badung - Sehari jelang perayaan Galungan atau disebut pula penampahan Galungan, umat Hindu Bali sudah disibukkan dengan berbagai persiapan. Hal itu juga berlaku bagi warga di Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Bali.

Namun berbeda dengan kebiasaan warga membuat lawar atau ngelawar, warga Tanjung Benoa justru memiliki tradisi memasak yang diwariskan secara turun-temurun. Wayan Dibia, tokoh masyarakat setempat, menyebut tradisi memasak itu bahkan sudah ada sejak leluhur menapakkan kaki di Tanjung Benoa sekitar 1750.

"Hal ini juga tidak terlepas dari silsilah leluhur kami yang mendapat pengaruh besar dari warga China yang sudah lebih dahulu berada di wilayah ini. Makanya, wilayah ini juga dahulu dikenal dengan sebutan Kampung Pecinan," kata Wayan sembari menunjuk ke silsilah yang terpatri di tembok bangunan sebelah timur, Selasa, 31 Oktober 2017.

Pria kelahiran 1953 itu menyebut nama Tanjung Benoa awalnya hanya disebut Tanjung. Nama kawasan itu baru berubah menjadi Tanjung Benoa pada masa pendudukan Belanda.

Meski demikian, pengaruh China pada budaya umat Hindu tetap kental. Buktinya adalah pada menu masakan berbahan dasar bihun. Meski dalam sarana upacara terdapat lawar atau sate, hal itu mutlak dibuat hanya untuk keperluan upacara.

"Atau sebagian besar warga lainnya khusus membeli untuk sarana upacara", tutur pria yang sempat menjabat sebagai Lurah Tanjung Benoa tersebut.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Larang Ngelawar

Kakek enam cucu tersebut mengatakan, Kelurahan Tanjung Benoa hanya menyelenggarakan tradisi memasak ketika sehari sebelum perayaan Galungan. Walau begitu, warga tidak dilarang untuk ngelawar sebagaimana tradisi umat Hindu Bali kebanyakan.

Selebihnya, warga tetap memasang penjor atau membuat sarana upacara lainnya untuk perayaan Galungan. "Masih sama seperti warga Bali lainnya", katanya.

Penjelasan itu juga dibenarkan warga lainnya. "Di sini memang sejak dahulu tidak melakukan yang namanya ngelawar. Di sini kita melakukan yang namanya memasak," ucap pria yang bernama Mang Benjoe itu.

Sementara itu, pengungsi Gunung Agung di sejumlah wilayah di Kabupaten Karangasem, Bali, melaksanakan persembahyangan pada Hari Suci Galungan, peringatan kemenangan darma (kebaikan) melawan adharma (keburukan).

"Persembahyangan dilaksanakan di Pura Merajan (keluarga), pura desa, dan pura-pura lainnya di wilayah desa kami," ucap Made Dwi (30), salah satu warga Desa Besakih, Rabu (1/11/2017), dilansir Antara.

Galungan tahun ini dirasakan berbeda jika dibandingkan perayaan serupa enam bulan lalu. Sebagian besar warga Besakih, kini harus menetap di pengungsian di sejumlah wilayah di Kabupaten Klungkung.

"Ada yang sudah pulang dan menempati rumah masing-masing. Tetapi, masih banyak pula yang di pengungsian karena banjarnya masuk kawasan rawan bencana," katanya.

3 dari 3 halaman

Suasana Perayaan Galungan di Gorontalo

Sejak Rabu pagi, 1 November 2017, umat Hindu di Gorontalo yang berpakaian dominan putih telah memadati Pura untuk mengelar persembahyangan. Mereka tampak khusyuk dan khidmat mengikuti prosesi keagamaan di pura masing-masing desa.

Di Gorontalo, umat Hindu tersebar di tujuh desa yaitu Desa Raharja, Trirukun, Bongo 3, Bongo 4 (Kabupaten Boalemo) dan Desa Banuroja, Sarimurni, Sidorukun, Kalima (Kabupaten Pohuwato). Mereka adalah para transmigran yang mayoritas berasal dari Provinsi Bali dan telah menetap di daerah tersebut sejak awal 80an.

"Sehari sebelumnya, para umat hindu dibeberapa desa didaerah tersebut, sudah menyiapkan berbagai keperluan untuk perayaan Galungan, seperti Penampan dan sesajen yang akan dipakai di rumah dan pura masing-masing desa," kata I Wayan Sudiarta, Ketua Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Provinsi Gorontalo.

Dia menjelaskan Galungan menjadi hari kemenangan darma (kebaikan) melawan adarma (ketidakbaikan) dan menjadi pedoman hidup bagi umat Hindu untuk terus berbuat kebaikan antarsesama. Usai persembahyangan, mereka saling berkunjung ke warga lain, termasuk dengan warga beragama Islam.

Dengan kebiasaan itu, ia berharap perayaan Galungan di daerah itu semakin mempererat toleransi yang selama ini terjaga melalui forum kerukunan umat beragama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.