Sukses

Dilema Keluarga Penerima Dana PKH, Sudah Kecil Disunat Pula

Ada seorang penerima PKH di Garut yang hanya menerima Rp 50 ribu dari dana PKH yang menjadi haknya sebesar Rp 500 ribu.

Liputan6.com, Garut - Rencana mulia pemerintah mengentaskan kemiskinan warga tidak mampu melalui program PKH (Program Keluarga Harapan), mendapatkan batu sandungan di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Berdasarkan penelusuran Liputan6.com di lapangan, ada laporan mengkhawatirkan dari sejumlah warga penerima bantuan mengenai dugaan praktik pemotongan bantuan hingga jual beli Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebagai syarat pencairan program PKH.

Jidin, salah satunya. Ia yang termasuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) program PKH itu tidak menyangka jika bantuan sebesar Rp 500 ribu per tiga bulan yang diterimanya, bakal terkena potongan petugas pendamping PKH.

"Jika kami tidak berikan (potongan), maka ancamannya akan dicoret pada pencairan berikutnya," ucap dia saat ditemui di rumahnya, Kampung Sukarame, Jumat, 22 September 2017.

Para penerima manfaat bantuan di Desa Lengkong Jaya, Kecamatan Karang Pawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, memang banyak mengeluh. Mereka akhirnya buka suara dan protes. Sebab, dana bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi warga tidak mampu itu, justru dipotong sejumlah petugas pendamping setiap pencairan berlangsung.

"Modusnya saat pencairan bantuan, petugas PKH yang namanya Junaedi mengumpulkan ATM milik KPM, kemudian dicairkan sendiri dan dipotong saat diberikan," ujar mantan ketua RW itu.

Ironis. Para penerima PKH yang seharusnya mendapatkan suntikan bantuan agar lebih mandiri dan bebas dari kemiskinan, justru mendapatkan beban baru. Beban itu akibat ulah tidak terpuji pendamping yang seharusnya membantu mereka.

"Potongannya bervariasi antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu," katanya.

Bahkan, ada penerima PKH tidak diberikan dengan alasan uangnya tidak cair. "Padahal, saat dicek ke pihak bank melalui rekening koran, bantuan sudah masuk dan sudah ditarik (cairkan)," ucap Jidin, geram.

Dalam praktiknya, untuk menghilangkan jejak saat pemotongan, pendamping PKH itu sengaja melibatkan para kader di tiap kampung. Mereka itulah yang nantinya akan memotong saat pencairan bantuan program PKH, selanjutnya diberikan kepada pendamping tersebut.

"Kami geram dengan ulah dia, sebab seharusnya mereka membantu, bukan justru membebani," kata dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bantuan Disunat Berkali-kali

Dari tiga kali pencairan bantuan PKH yang diterimanya, Jidin mengaku dua kali mendapat potongan, yakni sebesar Rp 50 ribu dan Rp 200 ribu, sehingga uang yang diperoleh, tidak dalam keadaan utuh sebesar Rp 500 ribu.

"Yang terakhir (potongan Rp 200 ribu) katanya buat membuat seragam sekolah anak, tapi hingga kini mana bajunya juga tidak ada," ujar Jidin menyindir.

Keluhan serupa disampaikan Titi, warga Kampung Tanjungpura, RT 03/05, Desa Lengkong Jaya, pada pencairan tahap kedua sebelum Hari Raya Idul Fitri lalu. Wanita berusia 57 tahun itu mengaku hanya diberi uang Rp 50 ribu melalui pendamping tersebut.

"Alasannya uangnya tidak cair, saya akhirnya diberi Rp 50 ribu, itu katanya THR (Tunjangan Hari Raya) dari tenaga pendamping bukan dari pemerintah," tuturnya.

Ia mengaku, selama tiga kali pencairan, dua di antaranya mendapatkan potongan yang dilakukan tenaga pengamping PKH tersebut. Pertama sebesar Rp 50 ribu, kemudian yang kedua hanya menerima Rp 50 ribu yang disebutkan tenaga pendamping sebagai uang THR.

"Enggak tahu yang Rp 450 ribunya ke mana, padahal setiap mau pencairan. Kami juga diminta uang sebesar Rp 20 ribu, katanya buat fotokopi, biasanya beda-beda alasannya setiap pencairan," ujarnya.

Dengan semakin banyaknya korban, Jidin, berharap pemerintah daerah segera segera turun tangan dan menindak tegas oknum pendamping PKH tersebut. "Kasian warga bukannya kami dibantu, malah bantuan saja dipotong, mohon kepada ibu Khofifah Menteri Sosial segera memecatnya," ujarnya.

Dalih Pendamping PKH

Junaedi, pendamping PKH tersebut, saat dikonfirmasi mengaku memungut sejumlah uang yang besarnya mulai Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu per Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

"Memang iya kami tarik melalui kader, tapi buat e-warung. Total ada sekitar Rp 8 juta, tapi sejak tanggal 18 September lalu sudah kami kembalikan," ujarnya.

Ia berdalih, uang hasil tarikan tiap KPM rencananya akan digunakan membuat usaha e-warung, meskipun diakuinya merupakan ide pribadi tanpa landasan hukum dan aturan yang ada. "Tapi setelah ramai akhirnya kami kembalilan lagi, silakan saja cek," kata dia.

Namun, jawaban berbeda justru disampaikan Arif Tirtana, salah satu petugas verifikasi dan validasi data KPM yang tengah dilakukan pemerintah saat ini. Dalam wawancara yang dilakukan di beberapa kampung desa Lengkong Jaya terhadap warga penerima bantuan pemerintah tersebut, ditemukan banyak warga mengaku tidak tahu alasan penarikan uang tersebut. Bahkan, ada penarikan uang sebelum pencairan bantuan.

"Tidak ada alasan untuk e-warung, yang saya temukan justru buat baju seragam sekolah, tapi karena ramai dibicarakan akhirnya untuk Sukarame dikembalikan, sedangkan buat kampung lain tidak ada pengembalian," ungkap Arif.

3 dari 3 halaman

Tanggapan Dinas Sosial Garut

Adapun Kepala Bidang Perlindungan Dan Jaminan Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Garut, Heri Gunawan Saputra saat ditemui, mengakui sudah banyak laporan mengenai tindak tanduk terduga Junaedi dalam menyunat uang bantuan PKH dari pemerintah tersebut.

"Saya sudah panggil dia dan mengakui perbuatannya, saya sudah terjunkan tim ke lapangan untuk menginventarisasi korban. Jika memang terbukti melanggar secara pidana, saya akan berhentikan secara tidak terhormat," ujarnya.

Saat ini total keluarga penerima manfaat (KPM) bantuan PKH di Kabupaten Garut mencapai 84 ribu yang tersebar di 442 desa/kelurahan. Jumlah itu ditangani sekitar 286 tenaga pendamping dan operator.

"Memang sulit juga mengawasi satu per satu tenaga pendamping, makanya saya berterima kasih sekali atas banyaknya laporan warga yang masuk melalui petugas verivali (verifikasi dan validasi)," kata dia.

Heri mengaku, selama ini untuk meningkatkan pelayanan kepada PKM, lembaganya rutin melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap seluruh tenaga pendamping PKH, termasuk mengingatkan untuk tidak memungut uang dari PKM.

Hingga akhirnya terungkapnya temuan Junaedi cukup mencoreng lembaganya. "Saya kaget juga dengan banyaknya laporan soal itu, sebab pendamping PKH desa tidak ada yang seperti dia, saya berharap dia yang terakhir," ujarnya.

Khusus tenaga pendamping Junaedi, ia mengaku bahwa lembaganya bakal segera memberikan tindakan yang tegas, termasuk upaya terakhir hingga pemberhentian secara tidak terhormat. "Kalau terbukti, tidak ada tindakan lain selain menghentikan yang bersangkutan," dia menegaskan.

Program Verifikasi Data KPM Terganggu

Mencuatnya kasus potongan dana PKH yang diduga dilakukan petugas pendamping PKH, Junaedi, ternyata menghambat proses verifikasi dan validasi data tahun 2017 yang tengah dilakukan pemerintah.

Survei lapangan petugas Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) bahkan kerap mendapatkan penolakan dari anggota keluarga penerima PKH saat wawancara dilakukan. "Alasannya ngapain diwawancara, sebab sebelumnya kerap diminta uang dulu, tapi bantuan tidak cair," ujar Arif Tirtana, salah satu petugas BKI.

Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program pemberian uang tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan dengan melaporkan kewajibannya.

Tujuan program ini untuk mengurangi beban RTSM dan dalam jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi, sehingga generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan.

Sedangkan syarat penerima PKH adalah ibu hamil atau yang memiliki anak sekolah. Besaran dana PKH untuk anak sekolah pun bervariasi, yakni sebesar Rp 450 ribu untuk siswa SD, Rp 750 ribu untuk siswa SMP, dan Rp 1 juta untuk siswa SMA sederajat. Sementara itu, besaran dana PKH untuk ibu hamil dan balita sebesar Rp 1,2 juta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 201 mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,76 juta orang atau 10,70 persen. Jumlah ini berkurang 0,75 juta orang dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.