Sukses

Cara Panti Sosial Bina Netra Ingatkan Kematian pada Para Siswa

Ada kesulitan tersendiri yang dihadapi pengajar saat mengingatkan kematian pada para siswa penyandang tunanetra.

Liputan6.com, Bandung - Gelak tawa riang pada Jumat sore, 22 September 2017, terdengar sampai keluar ruangan aula di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyataguna, Bandung. Siswa maupun siswi di panti duduk dengan posisi melingkar, mengelilingi temannya.

Tak ada yang lucu ketika melihatnya secara langsung. Hanya terdapat seorang siswa yang tengah berbaring di atas jejeran meja. Tubuhnya dibalut oleh kain kafan oleh teman-temannya. Kain kafan sendiri identik dengan kematian.

Ternyata, sebanyak 50 siswa Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyataguna Bandung mengikuti latihan pemulasaran jenazah untuk meningkatkan kualitas keterampilan saat berbaur dengan masyarakat nanti.Selain untuk meningkatkan kualitas keterampilan difabel netra tersebut, tujuan lainnya adalah agar terbiasa mengurus jenazah yang masih satu kelompok dengan mereka saat berada di panti.

Pekerja sosial dan instruktur PSBN Wyataguna, Asep Solihin menerangkan, latihan pemulasaran jenazah tersebut terdiri dari tiga bagian yaitu cara memandikan, menggunakan kain kafan, serta menyalatkan. Namun, semua dilakukan tanpa air.

Salah satu alasannya adalah karena untuk meminimalkan ketakutan para siswa atas kematian. Karena hanya simulasi terbatas, Asep menilai latihan pemulasaran jenazah saat itu terdapat kekurangan lain, yaitu dalam hal praktik penguburan.

"Inginnya sih ada ada semacam simulasi pemulasaran yang beneran kayak memandikannya pakai air dan lain sebagainya, cuman tempat untuk memandikan jenazah rasanya terbatas. Jadi kami juga hanya menggunakan simulasi saja itu," kata Asep di PSBN Wyataguna, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat, 22 September 2017.

Asep menjelaskan latihan pemulasaran jenazah itu telah dilakukan sebelumnya untuk siswa pemeluk agama Kristen. Inti dari seluruh pelatihan pemulasaraan jenazah, kata Asep, adalah untuk melatih mental bahwa manusia tidak selamanya hidup di dunia ini.

"Pasti mati, kalau mati harus ada yang ngurus," kata Asep.Pemateri latihan pemulasaran jenazah, Wagiyem, mengaku durasi pelatihan dianggap tidak ideal bagi puluhan siswa difabel netra yang dilatih. Agar maksimal, pelatihannya harus per kelompok dengan tujuan mereka paham.

Selain itu, tata cara pemulasaran jenazah, jelas Wagiyem, dianggap sulit diterapkan kepada kelompok difabel netra. Dalam praktik nyatanya, pemulasaran jenazah tidak diperbolehkan berbicara.

"Sedangkan, komunikasi difabel netra malahan menggunakan verbal dalam setiap aktivitasnya," kata Wagiyem.

Saksikan video pilihan berikut ini!

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.