Sukses

Turah, Film dengan Dialog Bahasa Ngapak

Film Turah mulai diputar di bioskop pada 16 Agustus 2017. Film Turah mengangkat dialeg Tegal yang ngapak.

Liputan6.com, Tegal - Setelah sebelumnya sukses membawa Film "Siti" sebagai film terbaik FFI 2015 ke layar bioskop nasional, kali ini Fourcolours Film mempersembahkan Film "Turah" yang akan rilis di bioskop seluruh Indonesia pada 16 Agustus 2017 mendatang.

Kota Tegal yang merupakan kota kelahiran film Turah menjadi tempat untuk mengadakan Gala Premier Film Turah yang bertempat di CGV Cinema Tegal, Minggu 13 Agustus 2017. Hadir sutradara, pemain, dan crew menambah keramaian kegiatan tersebut.

Fourcolours Film merupakan rumah produksi independen di Yogyakarta yang lahir dalam bentuk komunitas indie pembuat film pada 2001. Dalam perkembangannya, Fourcolours Films mengubah bentuk menjadi rumah produksi independen yang mengedepankan dan mempertahankan unsur lokal, serta berkolaborasi dengan sutradara-sutradara baru dan berbakat dari seluruh Indonesia.

Pada 2016, Fourcolours Fams dengan Produser Ifa Isfansyah kembali memproduksi film panjang berjudul Turah, debut film panjang dari sutradara Wicaksono Wisnu Legowo yang merupakan sutradara kelahiran Tegal, Jawa Tengah.

Setelah melakukan perjalanan ke berbagai festival film baik di dalam ataupun di luar negeri serta ke komunitas-komunitas film seluruh Indonesia, kini film Turah akan disaksikan di jaringan bioskop di Indonesia.

"Distribusi ke bioskop ini merupakan langkah kami untuk memperluas penonton film Turah. Selain itu, kami ingin menghadirkan keberagaman, bahwa film Indonesia dapat disampaikan dengan cara tutur yang beragam," ucap Produser Ifa lsfansyah menyampaikan latar belakang film Turah ditayangkan di jaringan bioskop di Indonesia.

Ia menjelaskan, film Turah mencoba mengangkat realitas kehidupan Kampung Tirang di Tegal.

"Dengan menggunakan pemain para aktor Tetal serta didukung penuh oleh kru dari Tegal, film ini disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Tegal," kata dia.

Selain itu, juga kondisi sosial ekonomi masyarakat kampung Tirang terbungkus manis dalam film ini. "Dalam perasaan takut dan pesimisme, masyarakat kampung Tirang harus berusaha sekuat tenaga untuk lolos dari narasi penuh kelicikan," jelasnya.

Untuk itu, mereka berusaha supaya tidak menjadi manusia kalah dan manusia sisa-sisa.

Film Turah telah meraih penghargaan Special Mention dalam perhelatan Singapore International Film Festival bulan Desember 2016. Dalam waktu yang bersamaan, Film Turah meraih penghargaan Geber Award don NETPAC Aword pada perhelatan Jaga-NETAC Asian Film Festival tahun 2016, serta menjadi nomine Best Actor pada perhelatan ASEAN International Film Festival and Award di Malaysia pada bulan Mei lalu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Turah Menolak Kalah 

Sutradara film Turah, Wicaksono Wisnu Legowo mengatakan, nama Turah sendiri diambil dari nama karakter utama dalam film tersebut. "Film Turah ini menceritakan tentang kehidupan di sebuah kampung yang penuh dengan inspirasi dan sangat nyata seperti kehidupan sehari-hari," ucap Wicaksono Wisnu Legowo.

Tidak ada bintang papan atas yang bermain dalam film Turah ini. Bahkan, pemeran sosok Turah pun adalah aktor biasa yang bernama Ubaidilah. Selain itu, film Turah ini juga dibintangi oleh Slamet Ambari, Yono Daryono, Rudi Iteng, dan Narti Diono.

Film arahan sutradara dan penulis naskah Wicaksono Wisnu Legowo ini diproduseri oleh Ifa Isfansyah.

Kerasnya persaingan hidup menyisakan orang-orang kalah di Kampung Tirang. Mereka semua pesimistis dan diselimuti rasa takut. Terutama kepada Darso, juragan kaya yang telah memberi mereka kehidupan.

Pakel, sarjana penjilat di sekitar Darso dengan lihai membuat warga kampung makin bermental kerdil. Situasi tersebut memudahkannya untuk terus mengeruk keuntungan.

Setitik optimisme dan harapan untuk lepas dari kehidupan tanpa daya hadir pada diri Turah dan Jadag. Peristiwa-peristiwa terjadi, mendorong Turah dan Jadag untuk melawan rasa takut yang sudah akut dan meloloskan diri dari drama penuh kelicikan.

Ini adalah usaha sekuat daya dari mereka, orang-orang di Kampung Tirang, agar mereka tidak lagi menjadi manusia kalah, manusia sisa-sisa.

 

3 dari 3 halaman

Film Pelajar Purbalingga Sabet Penghargaan Tingkat Nasional

Film karya pelajar Purbalingga menyabet penghargaan tingkat nasional. Film pendek berjudul Nyathil sutradara Anggita Dwi Martiana produksi Saka Film ekstrakurikuler sinematografi SMK Muhammadiyah Bobotsari Purbalingga berhasil menyabet Pemenang I Kategori Fiksi pada ajang Lomba Film Pendek Pendidikan Anak dan Remaja 2017, Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Penghargaan diserahkan saat kegiatan Apresiasi Pendidikan Keluarga pada Rabu, 9 Agustus 2017 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Selain film pendek, penghargaan juga diberikan untuk lomba jurnalistik, sekolah keren, dan orang tua hebat.

Prestasi tersebut terasa membanggakan karena Purbalingga merupakan kota kecil. Apalagi SMK Muhamadiyah Bobotsari belum banyak berpengalaman pada kompetisi sinematografi.

“Kami senang dan bangga, karena film pendek kami tahun lalu belum banyak bicara. Ini saatnya kami membawa nama baik sekolah dan Purbalingga seperti yang sudah dilakukan sekolah-sekolah lain di Purbalingga lewat film,” ujar Anggita Dwi Martiana yang sekarang duduk di bangku kelas XII jurusan Akuntansi.

Guru pembina ekstrakurikuler sinematografi SMK Muhammadiyah Bobotsari yang juga guru mata pelajaran seni dan budaya, Dinar Anggraeni mengatakan kemenangan tersebut merupakan pembuktian bahwa sinematografi pelajar Purbalinga tidak kalah dengan daerah lain, bahkan sudah bisa berbicara di tingkat nasional. Hal itu, kata Dinar, sekaligus pembuktian pada pihak sekolah bahwa keberadaan ekstrakurikuler sinematografi penting untuk difasilitasi pihak sekolah.

Dalam proses pembuatannya, lanjut Dinar, banyak dibantu oleh Cinema Lovers Community (CLC) Purbalinga. CLC memang dikenal sebagai komunitas insan perfilman yang eksis di wilayah Banyumas. Mereka pun rutin menyelenggarakan Festival Film Purbalingga (FFP) yang banyak menyedot animo masyarakat di wilayah Banyumas raya, bahkan sampai tingkat nasional juga. "Kita sudah 2 tahun ini dibantu oleh CLC," kata Dinar

Direktur CLC Bowo Leksono menyatakan, kemenangan Nyathil merupakan buah kerja keras pelajar Purbalingga. Sebelumnya, film karya remaja Pubalingga itu sudah dites dulu pada lomba tingkat regional kabupaten, seperti Festival Film Purbalingga. Baru kemudian dikirim ke berbagai festival tingkat nasional. “Karena proses yang serius, itulah hasil kemenangan ini,” katanya kepada Liputan 6, Jumat (11/08).

Selain menjadi jawara pada ajang tersebut, saat ini, film yang diproduksi awal tahun 2017 sedang mewakili Purbalingga pada ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2017.

Film Nyathil sendiri berkisah tentang seorang pemuda desa bernama Ahmad yang berusaha membongkar dugaan praktik tindak pidana korupsi di desanya yang dilakukan kepala desa dan perangkatnya terkait program bantuan renovasi rumah warga miskin. Meski tak mudah bagi Ahmad, karena ancaman bahkan secara fisik pun dialaminya. Nyathil arti dalam bahasa Indonesia dekat dengan ‘Pungli’ alias pungutan liar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.