Sukses

Petani Garam Jeneponto Batal Rasakan 'Bulan Madu'

Harga garam yang tinggi semanis bulan madu justru tak bisa dirasakan sama sekali oleh petani garam di Jeneponto.

Liputan6.com, Jeneponto - Manisnya harga garam yang melambung tinggi ternyata tak dirasakan para petani garam di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Bulan madu dengan harga garam tinggi gagal terjadi setelah hasil panen melimpah.

Petani yang kebanyakan berlokasi di daerah terpencil sulit menjual garam mereka kepada konsumen. Akibatnya, stok garam menumpuk di gudang. Hal itu dimanfaatkan para tengkulak yang lantas membeli garam dengan harga rendah.

Sesuai pantauan Liputan6.com, luas areal penggaraman di Kabupaten Jeneponto mencapai 556 hektare dengan jumlah unit usaha garam rakyat sebanyak 816 unit. Sebaran wilayah para petani garam berlokasi di empat kecamatan, yakni Kecamatan Arungkeke, Tamalatea, Bangkala, dan Bangkala Barat.

Muhammad Daming (71), petani garam di Kampung Paccelanga, Kelurahan Pallengu, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, mengaku pasrah dengan banyaknya tengkulak yang datang menawarkan harga rendah di tengah masa panen garam di awal Agustus hingga September mendatang.

Ia menolak buru-buru menjual garamnya, sehingga hasil panennya masih menumpuk di gudang. Meski demikian, sudah ada warga yang menjual garamnya ke tengkulak karena dorongan kebutuhan biaya pendidikan dan pesta pernikahan anak mereka jelang Idul Adha 1438 H.

"Kalau saya punya empat tambak garam yang sedikit lagi panen. Biasanya kalau dalam satu bulan, hasil panen garam saya bisa sampai 20 kali angkut dari empat petak tambak garam tersebut," kata Muhammad Daming.

Terpisah, Daeng Nyompa, petambak garam, mengaku potensi garam di Jeneponto bisa ditingkatkan hingga 200 ribu ton per tahun jika ada perhatian serius pemerintah. Misalnya dengan perluasan area tambak garam, lalu pengawasan dan pengendalian harga garam itu sendiri. Sejauh ini, petani garam di Jeneponto hanya bisa produksi maksimal hingga 80 hingga 100 ribu ton.

"Pemerintah hanya memperhatikan sektor lain. Padahal jika diberdayakan dengan baik, garam Jeneponto ini bisa menutupi kebutuhan garam nasional, selain garam dari Pulau Madura," kata Daeng Nyompa.

Menyikapi hal itu, Ikatan Sarjana Kelautan (ISK) Universitas Hasanuddin (Unhas) pun angkat suara.

"Berdasarkan pantauan ISK Unhas justru garam di Jeneponto melimpah dan para petani mengeluh. Itu terjadinya karena stok garam mereka menumpuk di gudang. Bahkan, garam mereka dijual pada tengkulak dengan harga yang rendah Rp 15.000 per 50 kg," kata Darwis kepada Liputan6.com, Rabu, 2 Agustus 2017.

Menurut Darwis, sebelum pemerintah pusat mengeluarkan keputusan impor garam, idealnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menelusuri akar permasalahan petani garam dan bukan langsung diselesaikan dengan solusi impor.

"Padahal, produksi garam di Jeneponto yang sangat besar mampu memenuhi kebutuhan pasar dan industri," ujarnya.

Saksikan video menarik di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.