Sukses

Mimpi Sederhana Bocah-Bocah Sokola Kaki Langit

Cita-cita para bocah Sokola Kaki Langit yang berada di dataran tinggi itu tak setinggi langit.

Liputan6.com, Makassar - Sokola Kaki Langit, mereka tak ingin disebut organisasi, tak pula mau disebut komunitas. Menurut Andi Mey Kumalasari Juanda, pendirinya, Sokola Kaki Langit adalah sebuah gerakan untuk mencerdaskan anak-anak pegunungan yang terpinggirkan.

"Saya lebih senang Sokola Kaki Langit disebut gerakan. Gerakan untuk mencerdaskan dan mendidik bocah-bocah di dataran tinggi," kata Mey kepada Liputan6.com, Minggu 9 Juli 2017.

Ia mengaku meski hanya berupa gerakan, Sokola Kaki Langit yang berdiri sejak 28 Desember 2014 mampu bertahan hingga saat ini karena tidak ada ikatan bagi para tenaga pengajar yang ikut mengajar di dataran tinggi.

"Alasan lainnya adalah karena kami mempunyai semangat kerelawanan dan semangat kepedulian," katanya.

Mey mengungkapkan dirinya mendirikan Sokola Kaki Langit karena terinspirasi dari dua 'Sokola' pendahulunya, yakni Sokola Rimba yang fokus mendidik anak-anak yang ada di hutan rimba dan Sokola Pesisir yang fokus mendidik anak-anak pulau.

"Terinspirasinya memang dari situ, tapi bedanya Sokola Kaki Langit itu fokusnya kepada anak-anak yang berada di dataran tinggi," ujarnya.

Karena bukan organisasi terikat, siapa saja bebas untuk bergabung ke Sokola Kaki Langit. Mereka menyebut dirinya sebagai relawan. Penerimaan relawan dilakukan setiap bulan, setiap Sokola Kaki Langit akan berkunjung ke sekolah binaan untuk mengajar.

"Lama kunjungan dan kegiatan itu hanya lima hari, dan dilakukan setiap bulan," kata Mey.

Sokola Kaki Langit menyasar siswa-siswi sekolah dasar yang berada di dataran tinggi, yaitu sekolah-sekolah dasar yang sangat minim mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Sudah ada tiga sekolah binaan Sokola Kaki Langit. Pertama adalah SDN 11 Umpungeng yang berada di dataran tinggi Desa Umpungeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

Kedua adalah SD Inpres Panggalungan, Sekolah Dasar yang berada di dataran tinggi Dusun Panggalungan, Desa Bulo-bulo, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Sementara yang ketiga adalah kelas jauh milik SD inpres Pattalassang, Dusun Maroangin, Desa Bulo-Bulo, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

"Jadi satu sekolah itu kita bina selama satu tahun, tiap bulan kita kunjungi sekolah binaan. Saat ini, kami sedang aktif melakukan pembinaan di kelas jauh SD Inpres Pattalassang," kata Mey.

Model pembinaan yang dilakukan adalah dengan membuka kelas non-formal yang dilakukan setelah para siswa-siswi Sekolah Dasar binaan pulang sekolah, seperti membuka kelas kreatif, latihan tari atau membuat kerajinan tangan dari alam.

"Kadang juga kita melakukan games, semua kegiatan non-formal itu kita lakukan setelah pulang sekolah," kata Mey.

Meski hanya memprogramkan kegiatan belajar mengajar non-formal, para relawan Sokola Kaki Langit kadang harus mengisi pelajaran formal para siswa-siswi Sekolah Dasar binaan mereka karena sekolah memiliki guru aktif terbatas.

"Bahkan menurut pengakuan siswa, tidak jarang kelas seharian itu kosong jam pelajaran, siswa mengaku kalau guru itu datang jika kami ada. Tapi menurut saya wajar mereka tidak datang mengajar karena rumah para guru yang sangat jauh dari sekolah tempat mereka terangkat jadi guru PNS," ucapnya sambil tertawa kecil.

 

Saksikan video menarik di bawah ini:



* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Cita-Cita yang Tak Setinggi Langit

Mey menceritakan selama Sokola Kaki Langit aktif melakukan kegiatan pembelajaran untuk para bocah di dataran tinggi, ia banyak mendapat kejadian unik dan mengharukan.

Salah satu di antaranya adalah saat para siswa di SDN 11 Umpungeng meminta melakukan upacara pengibaran bendera pada hari Sabtu. Umumnya, sekolah menggelar upacara pengibaran bendera itu pada Senin.

"Pernah sekali saya seperti mau menangis ketika para siswa di Umpungeng memaksa kakak-kakak volunteer untuk melakukan upacara di hari Sabtu," kata Mey.

Bagaimana tidak memaksa, soalnya mereka tidak pernah melakukan upacara itu setiap Senin. Sementara, Sokola Kaki setiap bulannya hanya datang pada Kamis sampai Minggu saja.

"Bagaimana mau upacara di hari Senin, siapa mau jadi pembinanya? Kepala Sekolah dan guru-gurunya tidak pernah datang mengajar, sementara kami di sana hanya setiap hari Kamis sampai Sabtu, itu pun cuma sebulan sekali," Mey menjelaskan.

Namun setelah relawan aktif mengajar siswa di SDN 11 Umpungeng, perlahan guru-guru datang dan menjadi aktif. Mey berharap keaktifan guru-guru itu bertahan meski kini SDN 11 Umpungeng tak lagi menjadi sekolah binaan Sokola Kaki Langit.

Mimpi sederhana bocah-bocah Sokola Kaki Langit yang berada di dataran tinggi nyaris meneteskan air mata para relawan karena terharu. (Liputan6.com/Fauzan)

"Awal-awal di Umpungeng gurunya masih jarang datang tapi beberapa bulan kami disana beberapa guru mulai rajin datang lagi, entah karena apa," terangnya.

Karena minim perhatian guru dan lingkungan, anak-anak yang tinggal di dataran tinggi itu nyaris tak memiliki cita-cita setinggi langit.

"Kami biasanya menyebutnya anak-anak kaki langit karena tempat tinggal mereka yang berada di dataran tinggi yang dianggap dekat dengan langit, tapi sayangnya cita-cita mereka tidak setinggi langit," kata Mey.

Mey menyebutkan cita-cita mereka sebenarnya terbentuk dari kenyataan di sekitar mereka. Pernah sekali Mey bertanya ke salah seorang bocah binaannya di Umpungeng tentang cita-citanya, bocah itu menjawab bahwa ia hanya ingin menjadi penjual bahan bakar minyak.

"Saya lupa siapa namanya, yang jelas dia bercita-cita jadi penjual bensin. Mungkin karena anak itu sadar bahwa bensin sangat susah di kampungnya, padahal bensin sangat dibutuhkan," katanya.

Cita-cita dari bocah lainnya, lanjut Mey, ada yang ingin jadi perawat ada juga yang hanya ingin jadi petani atau pekebun. Cita-cita tertinggi yang pernah disebutkan oleh bocah-bocah yang tinggal didataran tinggi adalah menjadi dokter.

"Kebanyakan mau jadi dokter, mungkin karena kurangnya tenaga kesehatan di kampung mereka," ujar Mey.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.