Sukses

Pagi yang Sakral di Kampung Budaya Jalawastu

Di daerah pantai ada sedekah laut, di tengah-tengah ada sedekah bumi, maka di Jalawastu ada sedekah gunung atau upacara adat Ngasa.

Liputan6.com, Brebes - Kicau burung memecah keheningan pagi di Kampung Jalawastu. Kabut tipis putih masih menyelimuti kampung budaya di Brebes, Jawa Tengah yang berada di lereng Gunung Kumbang itu.

Pada hari Selasa, 21 Maret 2017 pagi itu, jarum jam baru menunjukan pukul 05.00 WIB. Namun puluhan ibu-ibu menggendong keranjang cepon dengan tangan kanannya menjinjing rantang seng menyusuri bebukitan Gunung Kumbang.

Mereka bersiap mengikuti upacara adat Ngasa. Langkah mereka bergegas menuju Dukuh Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes. 

Dengan wajah berseri, mereka berbondong-bondong menuju Pesarean Gedong. Sesampainya di sana, beberapa lelaki menggelar tikar. Sedangkan ibu-ibu itu menaruh makanan di atas tikar secara berjajar.

Lelaki tua yang disebut juru kunci Pesarean Gedong Makmur, beserta tetua lainnya dengan berpakaian putih-putih menyusul di belakang rombongan ibu-ibu pembawa makanan.

Pemangku adat Jalawastu, Dastam (54) menjelaskan, upacara adat Ngasa ini telah dilaksanankan oleh warga secara turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Upacara ini simbol tanda terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat yang telah dikaruniakan.

"Seperti di daerah pantai ada sedekah laut, di tengah-tengah ada sedekah bumi. Kami yang di sini boleh dikata sebagai sedekah gunung," ucap Dastam.

Upacara adat ini digelar setiap Selasa Kliwon pada Mangsa Kesanga. Gelaran Ngasa ini digelar setahun sekali. Kali pertama, Ngasta digelar sejak masa pemerintahan Bupati Brebes IX Raden Arya Candra Negara.

Ngasta berarti perwujudan rasa syukur kepada Batara Windu Buana yang dianggap sebagai pencipta alam. Batara sendiri mempunyai ajudan yang dinamakan Burian Panutus. Semasa hidupnya konon dia tidak makan nasi dan lauk pauk yang bernyawa.

"Semua itu, sebagai kebaktian kepada Batara," katanya.

Namun seiring perkembangan zaman dan masuknya agama Islam di wilayah itu, warga secara bertahap memasukkan unsur dan ajaran-ajaran Islam dalam upacara adat Ngasta.

Masyarakat di Kampung Jalawastu juga pantang makan nasi beras dan lauk daging atau ikan. Yang tersedia adalah jagung yang ditumbuk halus sebagai makanan pokoknya dengan lauk lalapan dedaunan, umbi-umbian, pete, terong, sambal, dan lain-lain.

Begitu pun dengan piring dan sendok yang digunakan tidak menggunakan alat yang terbuat dari bahan kaca. Piring, sendok, cepon, dan rantang yang digunakan mereka terbuat dari seng atau dedaunan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Revolusi Mental dalam Ritual Selasa Kliwon

Bupati Brebes, Idza Priyanti sendiri dinobatkan sebagai Keluarga Jalawastu. Penobatan ini karena Idza merupakan bupati perempuan yang kali pertama mengunjungi upacara Ngasta.

Adapun penobatan ditandai dengan pemberian pakaian putih yang langsung dikenakan di tempat tersebut. Idza mengatakan, upacara adat ini mengandung nilai-nilai revolusi mental.

"Upacara adat Ngasa setiap Selasa Kliwon yang dipertahankan oleh komunitas adat Dukuh Jalawastu Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes mengandung nilai-nilai revolusi mental," ucap Idza.

Idza mengatakan, revolusi mental terkandung di dalamnya karena upacara adat ini terdapat nilai kejujuran, rasa syukur, saling gotong royong, dan taat beribadah serta tetap kukuh sebagai penjaga lingkungan. Semua itu dia sebut sebagai contoh konkret revolusi mental.

"Nilai-nilai kesahajaan, rasa syukur, gotong royong, taat beribadah, dan menjadi penjaga lingkungan merupakan contoh konkret revolusi mental yang tergambar dalam upacara adat Ngasa," kata ‎dia.

Kebudayaan yang dibangun masyarakat Jalawastu, lanjutnya, juga menjadi ruh bagi pembangunan bangsa. Demikian juga perilaku anak-anak di Jalawastu yang tetap mempertahankan permainan tradisional menjadikan mereka memiliki jiwa yang kokoh, termasuk mengakui kekalahan dan kemenangan ketika bertanding.

Ada dua hal yang sesungguhnya sulit ditemukan di era digital ini. Kata Idza, pertama, kebersamaan dan kedua, kesederhanaan. "Padahal keduanya bisa menyelamatkan masyarakat dari generasi ke generasi," ujarnya.

Saat ini, masyarakat telah dininabobokan dengan perkembangan teknologi seperti gadget. Meski canggih, namun kemajuan teknologi itu sesungguhnya telah menggerus kebudayaan yang adiluhung.

‎Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Brebes, Amin Budi Raharja menambahkan, Dukuh Jalawastu telah sejajar dengan masyarakat adat lainnya yang telah dikenal lebih dahulu di Indonesia. Misalnya saja kaum Samin, masyarakat tengger Banyumas, dan lain-lain.

"Jalawastu mampu mencerminkan kesadaran masyarakat akan keberagaman budaya dan tradisi di Kabupaten Brebes. Betapapun, kampung adat merupakan living culture yang berperan dalam pembentukan identitas sosial," ucap Amin Budi Raharja.

Ia menjelaskan, Jalawastu merupakan komunitas masyarakat di lereng Gunung Kumbang dan Gunung Sagara yang melestarikan tradisi Sunda-Jawa. Pedukuhan tersebut, telah terpelihara ratusan tahun lamanya.

"Mereka masih memegang teguh upacara adat budaya Ngasa yang digelar setiap Selasa Kliwon Mangsa Kasanga setiap tahunnya," ujar Amin.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.