Sukses

DPR Nilai Pilkada 2017 Belum Bisa Hasilkan Pemimpin Mumpuni

Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy kebijakan KPU belum tegas dalam pelaksanaan pilkada serentak.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menyebut ada 3 evaluasi pilkada serentak yang diselenggarakan pada 15 Februari 2017. Pertama, kata dia, secara prosedur semua sudah berjalan dengan baik dan hampir tidak ada tahapan terhambat.

"Jadwal tahapan berjalan sesuai rencana mulai dari tahapan persiapan, pendaftaran, masa kampanye, pemilihan sampai pada penetapan," ucap Lukman di Jakarta, Rabu (8/3/2017).

Walaupun menurutnya ada beberapa daerah yang penetapan hasil pilkada tertunda akibat mengajukan gugatan ke Mahmakah Konstitusi (MK), tetapi masih dalam jadwal tahapan yang disiapkan oleh pihak penyelenggara pilkada.

Kedua, kata Lukman, pada tahap pendaftaran calon juga berjalan dengan lancar. Termasuk banyak calon independen yang mendaftar. Namun, akibat standar yang diturunkan, maka kualitas calon independen juga berkurang.

"Ini diperlihatkan hampir tidak ada calon independen yang memperoleh suara signifikan," ujar Lukman.

Dia menilai, akibat syarat independen yang mudah, banyak calon independen yang memiliki kualitas seadanya bahkan terkesan main-main. Sedangkan calon yang berasal dari partai politik juga tidak maksimal.

"Karena keharusan anggota legislatif mundur menyebabkan calon dari partai politik yang mendaftar adalah level 2, bukan yang terbaik. Yang terbaik tidak mau mundur dari legislatif," kata dia.

Kondisi ini mengakibatkan kemenangan lebih banyak diraih oleh petahana atau keluarga petahana.

"Ini akibat kebijakan petahana hanya cuti, dan dicabutnya kebijakan antipolitik dinasti," imbuh Lukman.

Secara umum, sambung Lukman, pilkada 2017 belum bisa diharapkan menghasilkan pemimpin daerah yang terbaik. Hal itu akibat dari kebijakan yang belum tegas.

Sementara yang ketiga, kata Lukman, kampanye adalah masa yang paling buruk dari pelaksanaan tahap pilkada.

Politisi PKB ini menyebut selama masa kampanye, sosial media digunakan masyarakat untuk menebar fitnah, kebencian, berita bohong dan bahkan kampanye hitam.

"Sosial media yang menebar fitnah, kebencian, black campaign, mobilisasi yang palsu, isu SARA, dan hoax mewarnai masa kampanye. Sementara pelaksana pilkada tidak berdaya mengantisipasi," terang Lukman.

Padahal rambu-rambu dalam pelaksanaan kampanye sudah cukup jelas.

"Tidak ada inisiatif dari penyelenggara pilkada untuk melakukan kreasi menangkalnya," tegas Lukman.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini