Sukses

Gerindra: Migrasi Pemilih Jadi Model Kecurangan Baru Pilkada DKI

Sufmi Dasco Ahmad menilai, banyak pemilih yang tidak dikenali warga setempat tanpa identitas yang lengkap yang memaksa untuk memilih.

Liputan6.com, Jakarta - Partai Gerindra menilai adanya celah model kecurangan baru pada Pilkada DKI 2017 yang sedikit berbeda dengan praktik-praktik kecurangan pada Pilkada sebelumnya yaitu migrasi pemilih yang mengakibatkan penggelembungan pemilih di tingkatan Tempat Pemungutan Suara (TPS).

"Jika selama ini kecurangan lebih didominasi pada proses rekapitulasi berjenjang yang dimanipulasi, pada Pilkada DKI Jakarta kemarin yang paling mengkhawatirkan adalah migrasi pemilih yang mengakibatkan penggelembungan pemilih di tingkatan TPS," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, di Jakarta, Minggu (19/2/2017).

Dia menilai, banyak pemilih yang tidak dikenali warga setempat tanpa identitas yang lengkap yang memaksa untuk memilih. Ia mengunkapkan, karena banyaknya jumlah pemilih, di daerah tertentu bahkan ada informasi jika pencoblosan masih terjadi setelah lewat batas waktu pencoblosan pukul 13.00 WIB.

"Saya telah melihat video antrean pemilih yang masih sangat panjang yang disebutkan di wilayah Mall of Indonesia Kelapa Gading padahal waktu sudah menunjukkan jam 13.15WIB. Benar atau tidaknya video tersebut harus kita verifikasi bersama," ujar Sufmi Dasco, seperti dikutip dari Antara.

Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan itu menilai fenomena ini sebenarnya aneh sekali karena Jakarta adalah Provinsi yang berwujud sebuah kota yang tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan Provinsi lain.

Menurut dia, tidak sulit bagi siapapun warga Jakarta untuk memilih di TPS yang sesuai dengan KTP-nya, karena jarak tempuh dari satu tempat ke tempat lain paling lama hanya tiga jam naik kendaraan umum. Apalagi,  ia menambahkan, pada hari pencoblosan Pilkada DKI 2017 Rabu, 15 Februari 2017 dijadikan hari libur.

"Jadi sebenarnya nyaris tidak ada alasan bagi pemilih untuk memilih tidak di TPS tempat dia terdaftar," tegas Sufmi Dasco.

Selain itu dia juga mengkhawatirkan sulitnya mencegah praktik politik uang di tingkat TPS karena tidak terlihat upaya maksimal pencegahan pemilih membawa telepon genggam atau kamera masuk ke dalam bilik TPS.

Padahal, menurut dia, telepon genggam atau kamera adalah alat yang paling sering digunakan untuk transaksi politik uang. "Foto kertas suara yang dicoblos biasanya digunakan sebagai bukti untuk mendapatkan uang suap," ungkap dia.

Sufmi Dasco mengatakan, penyelenggara pemilu dan masyarakat tidak boleh mengabaikan begitu saja informasi yang beredar di masyarakat terkait politik uang. Menurut dia, indikasi kuat adalah adanya TPS yang perolehan suara salah satu pasangan calon 100 persen.

"Di Jakarta tidak ada sistem noken, dan masyarakat Jakarta sangat heterogen sehingga nyaris tidak masuk akal jika pasangan calon lain tidak meraih satupun suara," beber dia.

Dasco menilai di tengah kesulitan ekonomi yang dialami sebagian besar warga Jakarta saat ini, uang sejumlah ratusan ribu sebagai imbalan memilih bisa jadi sangat efektif dilakukan untuk meraih kemenangan secara curang.

Karena itu, Sufmi Dasco menilai harus dilakukan evaluasi serius untuk menangkal praktik politik uang pada Pilkada DKI 2017.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.