Sukses

Suara Gunung dari Alor

Tifal Toi atau tradisi masuk kebun menjadi salah satu tradisi yang dipegang teguh suku Abui di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Doa ritual yang dipanjatkan merupakan rasa syukur seraya berharap berkah dari dewa dewi menjadi penanda suara gunung dari Alor.

Liputan6.com, Alor: Abui, suku terbesar di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Mereka dikenal sebagai anak gunung yang hidup dari hasil tanam dan berburu meski kampung mereka berhadapan langsung dengan lautan Flores.

Sejak ratusan tahun silam, nenek moyang Suku Abui memang identik dengan watak manusia pedalaman. Manusia yang akrab dengan aroma hutan dan anggrek bulan. Kini, warga Abui tinggal lebih dekat ke pesisir di Kampung Takpala. Kendati demikian, tak ada yang berubah. Tak seorang pun dari mereka menjadi nelayan kecuali yang keluar dari kampung adat atau menikah dengan suku lain.

Sejak lima tahun sebelum Indonesia merdeka, gelombang turun gunung Suku Abui memang nyaris membuat sepi perbukitan. Tradisi balsem yakni kewajiban membayar pajak kepada raja, membuat mereka harus pindah untuk memudahkan pemungut pajak yang sering kesulitan menjangkau permukiman warga.

Urusan kebiasaan tak mudah bagi komunitas Abui pindah haluan. Soal makanan misalnya, walau beras mudah didapat, Suku Abui lebih memilih jagung sebagai  santapan. Langit-langit rumah sebagian besar warga penuh dengan ikatan-ikatan jagung sebagai persediaan utama untuk keluarga. Begitu pentingnya hasil tanam bagi warga Abui. Mereka memiliki tradisi Tifal Toi atau tradisi masuk kebun. Inilah prosesi memohon berkah sebelum memasuki musim tanam jagung.

Suku Abui adalah suku pelopor, pendiri kerajaan tertua di alor. 70 tahun lebih sudah mereka pindah dari pedalaman ke kampung Takpala. Mereka melanjutkan riwayat kebesaran Abui masa lampau hingga kini sisa-sisa kebesaran itu masih tampak. Pengelompokan tiga suku Abui menjadi penanda tak ada yang hilang dari  tradisi masa silam Abui. Suku Kapitang atau suku perang, suku Aweni atau bangsawan dan suku Marang  atau perantara adalah tiga kelompok besar bagian suku Abui.

Setiap kali acara besar digelar tiap kali itu pula mereka bergotong-royong. Termasuk, saat prosesi masuk kebun dimulai prosesi rutin yang digelar sekali  setahun. Keteguhan memegang prinsip adat juga terlihat dari banyaknya rumah tradisional. Ada tiga jenis rumah adat di Takpala, Kolwat, Kanuarwat dan rumah gudang  atau Fala'. Fungsi ketiga bangunan ini berbeda-beda, baik dalam keseharian atau kepentingan ritual.
 
Titik pusat rumah adat Abui adalah Mesbah, tiga susun batu sakral. Tiap rumah dibangun dengan posisi menghadap mesbah yang terbuat dari batu kali atau lempengan-lempengan yang ditumpuk dalam posisi tertentu. Dalam dunia arkeologi, Mesbah adalah salah satu produk peradaban Megalitikum atau periode zaman batu besar. Peran Mesbah begitu besar sebagai sarana  ritual antara manusia dan dewa atau arwah nenek moyang. 

Setiap kali prosesi masuk kebun dimulai, dingin malam di Takpala berubah hangat dalam lego-lego. Tarian sakral suku Abui pun diperagakan. Tarian ini tak boleh ditinggalkan tiap kali orang-orang abui menggelar ritual. Formasi melingkar dan saling bergandeng tangan dengan gerakan monoton mengelilingi mesbah yang disucikan berlangsung sepanjang malam. Lego-lego menjadi simbol persaudaraan yang kental. 
 
Lewat tarian ini suku Abui seolah ingin menyampaikan pesan sikap mementingkan diri sendiri adalah barang haram yang merusak dan tak boleh hidup dalam komunitas adat. Dan ketika pagi menjelang, prosesi masuk kebun mendekati tahapan akhir. Lewat prosesi ini tak ada yang mereka harapkan selain keberkahan. Warga Abui percaya pemasangan bambu yang pucuknya menghadap cahaya matahari menjadi jalan turunnya rejeki ke bumi.

Sebelum agama-agama besar masuk, penduduk Alor adalah penganut animisme dan dinamisme. Mereka menyembah Larra atau matahari, Wulang atau bulan, Neda atau sungai, Addi atau hutan bahkan hari atau laut. Kini sebagian besar dari mereka telah memeluk satu dari lima keyakinan. Namun, kepercayaan tak serta merta membuat mereka mengabaikan tradisi leluhur tradisi kuno yang telah mendarah daging. 
 
Tradisi itu pun tak berubah hingga detik akhir prosesi. Sirih dan buah pinang diterima setiap orang sebagai penegas mereka adalah saudara. Saudara dalam satu tindakan dan suara. Suara dari gunung di Pulau Alor.(ADI/YUS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini