Sukses

Marinir AS Datang, Kita Jadi Penengah

sebagai negara yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, Indonesia harus menjadi penengah antara kekuatan militer AS dan Cina. Berbicara dengan kedua negara adidaya itu agar kawasan ini tidak menjadi ibarat sebuah pepatah "dua gajah berkelahi maka pelanduklah yang akan mati."

Sebuah pidato penting disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton. Ia mengatakan, abad 21 akan menjadi "Abad Pasifik-nya Amerika". Dalam pidatonya 11 November lalu di Honolulu itu Hillary juga mewanti-wanti Beijing dan kekuatan lainnya agar tetap berpikir bahwa Amerika akan tetap menjadi pelaku penting dalam masalah internasional di Pasifik. "Ada tantangan yang dihadapi Asia Pasifik saat ini yang menuntut kepemimpinan Amerika, dari upaya menjamin kebebasan berlayar di Laut China Selatan, sampai melawan provokasi proliferasi (senjata nuklir) Korea Utara dan mempromosikan keseimbangan serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif," kata Clinton seperti dikutip Reuter.

Hampir bersamaan, kemudian muncul rencana pemerintah Amerika Serikat menempatkan pasukan marinirnya secara bertahap di Australia mulai tahun ini. Dimulai dari 250-260 marinir hingga mencapai 2.500 marinir pada 2016. Hal inilah yang kemudian memancing berbagai spekulasi, mengapa Marinir AS harus ditempatkan di Australia, di kota Darwin yang jaraknya ke Indonesia hanya kurang dari Jakarta ke Surabaya? Apakah untuk mengawasi Papua, gerakan terorisme, atau lainnya?
 
Kalau kita mengacu pada pidato Hillary ini, maka siapa yang menjadi hakekat ancaman itu? Kalau jawabannya teororisme, bukankah itu bisa dikerjakan dengan bantuan intelejen. Toh pemerintah seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan Indonesia dengan senang hati memberantas terorisme itu bersama dengan Amerika Serikat, sehingga Amerika tidak perlu "memberantasnya" seperti melakukan intervensi ke Irak dan Afghanistan.

Di Indonesia dan Malyasia misalnya, Amerika memberikan dukungan pada kekompok Islam yang modernis dan kelompok Islam tradisionalis yang menentang "Islam Fundamentaslis". Cara ini dipandang lebih murah dan efisien.

Sebuah pidato biasanya adalah tahapan strategi dari sebuah kebijakan luar negeri. Sebuah strategi mengandung unsur ruang dan waktu. Ruangnya adalah Pasifik dan waktunya adalah abad 21 ini. Implementasi dari strategi ini -yang kini terlihat jelas adalah dengan penempatan pasukan Amerika di Darwin. Penempatan pasukan tentu berhubungan dengan adanya hakekat ancaman.

Robert D. Steele dalam bukunya The Transformation of War and the Future of the Corps mengolongkan adanya empat  hakekat ancaman yaitu : 
1. Militer dengan sistem yang canggih dengan dukungan logistik yang sangat kuat (the high-tech brute)
2. Gabungan antara para penjahat dan teroris seperti penyelundup narkoba (the low-tech brute)
3. Kelompok massa tanpa senjata yang biasanya didorong oleh faktor agama, ideologi/SARA (the low-tech seer)
4. Gabungan antara para penjahat informasi dan spionase ekonomi dengan penguasaan teknologi yang tinggi seperti para hacker (the high-tech seer)

Dari asumsi ini, maka ancaman terbesar ini berasal dari Cina yang ingin memperluas  kekuatannya di Asia Pasifik. Setelah menjadi raja baru dalam bidang ekonomi di Asia, maka wajar jika Cina memiliki pemikiran untuk menjadi raja baru di bidang militer di kawasannya. Amerika sendiri memang memiliki Armada ke VII yang berpangkalan di Jepang, Korea Selatan dan Guam, tapi semua pangkalan ini memang berada di kawasan "utara" Asia Tenggara khususnya Selat Malaka.

Kekuatan militer China
Pasca empat modernisasi Deng Xioping pada 1975 (salah satunya adalah modernisasi di bidang militer) Cina menampilkan performa militer yang luar biasa. Tahun ini  Cina mengumumkan belanja militer naik 12,7 persen menjadi 601,1 miliar yuan (sekitar 91,7 miliar dollar AS) pada 2011. 

Agustus lalu, Cina mengumumkan keberhasilan uji coba kapal induk baru mereka. Dunia barat juga tercengang saat Cina meluncurkan Fighter China 1 yang diberi nama Xiaolong ( Fierce Dragon ). Pesawat dengan sayap delta bermesin tunggal ini disebut-sebut memiliki kemampuan sekitar 85 persen dari pesawat tempur F-16 generasi ke-4, tapi harganya hanya separuh dari F-16. 

Selain itu Cina juga mulai mengaktifkan Dong Feng 21 D, sebuah misil penghancur kapal induk. Senjata ini dapat mengimbangi penempatan kapal induk tenaga nuklir Amerika Serikat USS George Washington yang biasa mangkal di kawasan Jepang dan Korea Selatan. 

Jadi, mungkin saja penempatan 2.500 Marinir Amerika Serikat ini barulah langkah awal untuk melakukan efek deterrence. Secara harfiah deterrence diartikan sebagai penangkisan, penolakan atau pencegahan. Maksudnya deterrence adalah suatu strategi untuk mencegah terjadinya perang dengan cara ‘mengecilkan hati’ lawan (negara lain) yang mencoba menyerang.

Dengan kata lain Amerika Serikat tengah melancarkan psywar, dengan tujuan meyakinkan pihak atau negara lain bahwa kerugian yang ditimbulkan karena perang akan jauh melebihi keuntungan yang diharapkan.

Jika hakekat ancaman di Selat Malaka --satu kawasan strategis bagi Amerika, Jepang dan Korea ke kawasan Timur Tengah-- meningkat, maka bukan hanya pasukan yang ditempatkan tetapi kekuatan militer yang semakin meningkat akan digelar oleh Amerika di Australia. 

Jadi kedatangan Marinir ini nampaknya bukan karena masalah yang ada di Indonesia, tapi jauh lebih luas mengenai masalah keamanan di Asia Tenggara. Namun demikian, bukan berarti kita lantas tidak peduli dengan langkah negara adidaya ini, justru sebagai negara yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, Indonesia justru harus menjadi penengah antara dua kekuatan militer ini. Berbicara dengan Cina dan Amerika agar kawasan ini tidak menjadi ibarat sebuah pepatah "dua gajah berkelahi maka pelanduklah yang akan mati"


Raymond Kaya
Redaktur Eksekutif Liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.