Sukses

[Cek Fakta] Gempa di Jakarta Terkait Gerhana Bulan?

Gempa yang mengguncang Jakarta terjadi delapan hari sebelum fenomena gerhana bulan di Tanah Air.

Liputan6.com, Jakarta Wakil Presiden Jusuf Kalla hendak menunaikan salat zuhur ketika Jakarta diguncang gempa, Selasa 23 Januari 2018. "Pak, ada gempa," itu yang disampaikan salah satu stafnya. Setelah melihat lampu gantung bergoyang, JK pun keluar ruangan. 

Sementara itu, kepanikan melanda Ibu Kota. Di sebuah pusat perbelanjaan, para pengunjung berebut turun dengan eskalator, karyawan berhamburan dari perkantoran. Pasien rumah sakit dievakuasi, tamu salon berhamburan, bahkan beredar foto seorang pria keluar dengan handuk terlingkar di badan. Mungkin ia sedang mandi saat lindu mengguncang.

Seorang warga yang trauma membandingkan guncangan kuat di Jakarta dengan apa yang dialaminya pada 2007 lalu, ketika lindu dahsyat melanda Yogyakarta.  

Guncangan hebat yang dirasakan warga Jakarta Selasa siang, sejatinya tak berpusat di ibu kota. Episentrum gempa 6,1 skala Richter berada di laut, 43 km barat daya Kota Muarabinuangeun, Kabupaten Cilangkahan, Provinsi Banten. 

Namun, lagi-lagi, peristiwa tersebut membuktikan satu hal: Jakarta, kota terpenting di Indonesia, rentan gempa. 

Belum lagi reda rasa was-was, beredar kabar tentang potensi lindu yang lebih besar lagi. "Diharapkan keluar rumah nanti malam pukul 22.30-23.59 dikarenakan potensi gempa susulan 7,5 SR," demikian kabar yang mengatasnamakan BMKG beredar viral. 

Kabar, yang menyertakan peringatan dini dari BMKG soal potensi gelombang tinggi, belakangan terbukti bohong alias hoax. BMKG membantah, ahli gempa pun menepis.

Ahli Geologi Gempa Bumi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, gempa susulan biasa terjadi. Namun, kekuatannya tak sebesar yang utama.

"Gempa susulan hanya untuk menyeimbangkan lempeng saja. Kadang masyarakat itu salah pengertian. Yang harus diwaspadai sebenarnya gempa yang besarnya tadi," kata Danny saat dihubungi Liputan6.com.

 

Tak hanya soal gempa susulan, beredar juga anggapan sebagian masyarakat yang mengaitkan lindu dengan fenomena gerhana bulan.

 

Fakta:

Gempa yang berpusat di Banten terjadi pada Selasa 23 Januari 2018 pukul 13.34 WIB, berdekatan dengan prediksi gerhana bulan pada 31 Januari 2018. 

Sejumlah orang pernah mengait-ngaitkan gempa 7,4 SR Jepang 21 December 2010 dan gempa  6,5 SR Iran yang mengakibatkan korban jiwa, dengan gerhana bulan. 

Dan, kebetulan, tak lama setelah gempa 6,1 di Banten, lindu dahsyat dengan kekuatan 7,9 SR mengguncang Alaska. 

Sudah lama Bulan dikait-kaitkan dengan terjadinya gempa. Apalagi lindu dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 juga terjadi 2 pekan sebelum supermoon 10 Januari 2005. Pun dengan gempa 9 SR di Jepang pada 11 Maret 2011.

Benarkah fase Bulan berpengaruh pada aktivitas geologi, khususnya gempa? 

Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja menegaskan, tidak ada kaitan antara kedua fenomena alam tersebut.

"Tidak ada kaitannya. Itu suatu perkiraan orang dihubung-hubungkan orang," ujar Danny.

Senada, Kepala Bagian Humas BMKG, Hary Tirto Djatmiko, menegaskan kedua hal tersebut terlalu jauh untuk dikaitkan.

"Sejauh ini tidak ada kaitannya. Yang satu fenomena astronomi yang satu fenomena terkait geologi. Jadi dua hal yang berbeda," tutur Hary kepada Liputan6.com.

Ilustrasi gempa Banten. (Liputan6.com/Muhamad Ali)

Berdasar hitungan astronomis, Rabu 31 Januari 2018, seluruh wilayah Indonesia akan mengalami fenomena Gerhana Bulan Total (GBT). Proses GBT dimulai pada pukul 17.51 WIB dan berakhir pada pukul 23.08 WIB.

Dikutip dari planetarium.jakarta.go.id, GBT dapat disaksikan di semua wilayah Indonesia. Namun, tahapan gerhana yang relatif dapat mudah diamati oleh awam adalah mulai pukul 18.48 WIB hingga pukul 22.11 WIB.

Saat inilah bulan memasuki bayang-bayang utama (umbra) Bumi. Wajah Bulan, yang seharusnya dalam fase purnama, sebagian menjadi gelap. Hal ini membuat wajah Bulan di bagian tepi menjadi agak cekung. 

Peristiwa GBT aman dilihat dengan mata telanjang tanpa alat bantu semisal binokuler (kèkeran) atau teleskop (teropong). Tidak berbahaya bagi kesehatan mata. Namun, tatkala melihat dengan alat bantu optik dan mengamati bulan dalam fase purnama cukup menyilaukan. Jadi, tidak pula disarankan berlama-lama terlebih jika malam sedang benderang.

Kesimpulan: TIDAK BENAR

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini