Sukses

HEADLINE: Memutus Rantai Pedofilia, Bisakah?

Terapi dan penanganan yang tepat mampu memutus potensi korban pedofilia berubah menjadi pelaku.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus kejahatan seksual pada anak atau pedofilia menyeruak di awal Januari 2018. Tepatnya di Tangerang dengan tersangka seorang guru honorer tingkat sekolah dasar (SD) berinisal WS alias Babeh (49).

Korbannya cukup banyak. Polisi menyebut, 41 anak dengan usia antara 10-15 tahun. Jumlah korban pun dimungkinkan masih bisa bertammbah.

Babeh biasa beraksi di gubuk tempat tinggalnya, Kampung Sakem, Kabupaten Tangerang. Modusnya, dengan menawarkan ajian semar mesem kepada calon korban.

Sebuah ajian yang dia klaim ampuh untuk memikat cinta. Namun, ajian itu tidak bisa diberikan cuma-cuma. Calon korban harus memberikan mahar uang. Bisa pula dengan kesediaan untuk disodomi.

"Awalnya saat pelaku ditinggal istrinya bekerja menjadi TKW di Malaysia. Setelah 3 bulan, dia tidak bisa menahan diri," kata Kapolres Tangerang Sabilul Alif di Tangerang, Jumat 5 Januari 2018.

Kepada polisi, Babeh juga mengaku sebagai korban pedofilia ketika berumur sekitar 10 tahun. Dia mengaku, pernah dicabuli oleh gurunya sendiri.

Memang, ada kecenderungan para korban pedofil berubah menjadi pelaku di kemudian hari. Hal itu ditemukan Suzy Yusna, Psikiater Jiwa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Soeharto Heerdjan, Jakarta.

“Ada kasus yang datang ke rumah sakit, anak ini (korban pedofil) ternyata sudah membuli, menyodomi anak lain yang usianya hampir sama,“ kata Suzy Yusna kepada Liputan6.com, 8 Desember 2018.

Berdasarkan data pasien RSJ Soeharto Heerjan, pertambahan kasus pedofilia terjadi sepanjang 2017. Jumlahnya mencapai 7 kasus, naik dibanding 2016 yang hanya 1-2 kasus.

Dia menambahkan, biasanya pasien atau korban pedofilia datang sudah dalam keadaan depresi dan mengalami perubahan perilaku. Hal itu tampak pada emosi yang labil, agresif, dan mudah marah.

Tak jarang, depresi turut dialami orang tua korban. Kaget dan rasa khawatir pada masa depan anak, serta stigma negatif dari masyarakat menjadi beban berat.

Bahkan, Suzy pernah menemukan orang tua korban pedofilia yang lebih memilih anaknya meninggal dari pada kedepannya merusak orang lain dengan menjadi pedofil.

"Itukan bentuk depresi, padahal kan masih bisa dilakukan pendekatan,” sebutnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Terapi Korban

Rehabilitasi dan terapi untuk korban pedofilia menjadi salah satu cara mengontrol bahkan menyembuhkan dampaknya. Untuk tahap awal, dengan upaya memperbaiki emosi korban.

Caranya dengan diskusi dan pengobatan medis bila diperlukan. Lalu, dilanjutkan psikoterapi lewat permainan dan menggambar serta teraplay dengan mainan-mainan anak berbentuk hewan atau boneka- boneka manusia.

"Itu merupakan assesment pada anak. Apa saja yang dialami saat kejadian. Misal dia gambar daerah-daerah dekat anus atau pantat, keliatan kok,” katanya.

Metode terapi lain yakni Reframing Memory. Terapi yang bekerja untuk membebaskan korban dari perasaan tidak nyaman. Cara ini mampu mengembalikan korban ke kehidupan yang wajar.

“Reframing Memory menyimpan kejadian yang pernah dialami diotak dan melakukan perubahan,” kata Psikiater dari Universitas Udayana, Prof Luh Ketut Suryani, saat ditemui di kediamannya, Denpasar, 9 Januari 2018.

Suryani berpendapat, dalam kasus pedofilia yang berhasil diungkap, pelaku harusnya tidak Cuma dihukum. Namun, harus diterapi untuk persiapan dikembalikan ke masyarakat.

Dia menambahkan, pedofilia bukan disebabkan faktor genetik. Tetapi, disebabkan adanya kelainan pada otak dan juga akibat kekerasan yang dialami pelaku sewaktu kecil.

Argumentasi Suryani sesuai dengan penelitian Hall & Hall, 2007 silam. Disebutkan, adanya perbedaan dalam struktur otak pedofil. Tepatnya, di bagian frontocortical, jumlah materi abu-abu, unilateral, bilateral lobus frontal, serta lobus temporal dan cerebellar.

Perbedaan ini mirip dengan orang-orang dengan gangguan kontrol impuls, seperti OCD, kecanduan dan gangguan kepribadian anti-sosial. Kelainan otak itu mungkin terjadi saat bayi atau dalam kandungan ketika otak sedang terbentuk.

“Paling penting, bisakah orang tua dan keluarga dekat sama anak sehingga tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dia merasakan kasih sayang keluarganya sehingga tidak perlu mencari kasih sayang yang lain”, ucap Suryani.

3 dari 3 halaman

Sasaran Pedofil

Klasifikasi Penyakit Internasional atau International Classification of Diseases (ICD) menyatakan, pedofilia sebagai gangguan kepribadian dan perilaku dengan pilihan pelampasan seksual pada anak-anak 13 tahun kebawah.

Hal itu dibenarkan Ivan Sujana, M.Psi, Dosen Bidang Studi Psikologi Perkembangan, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Dia menyebut, tidak semua anak-anak menjadi sasaran pedofilia.

Dia menjelasakan, di Indonesia, setiap orang dengan usia di bawah 18 tahun masuk dalam kategori anak. Walaupun ketika berusia 10-13 tahun, anak-anak itu sudah akhil balig.

"Kalau seseorang berhubungan dengan yang akhil balig, itu bukan pedofilia” kata Ivan Sujana pada Liputan6.com, 9 Januari 2018.

Kepuasan pedofilia sendiri dicapai melalui aktivitas foreplay seperti menyentuh, mengelus, atau sejenisnya. Jadi bukan ketika menyetubuhi korban.

“Kepuasan pada saat penetrasi cenderung hanya kepuasan sekunder bagi mereka” katanya.

Sementara itu, Ivan menjelaskan, sulit untuk mengenali atau mengidentifikasi seseorang sebagai pedofil. Itu karena, para pedofil tidak punya ciri fisik khusus. “Ciri fisiknya kita enggak bisa bedakan.” Katanya.

Namun, dia mengungkapkan, banyak pedofil yang sebelumnya pernah menjadi korban kejahatan seksual. Ciri lain yakni pedofil tidak memiliki kematangan kepribadian pada aspek seksual serta punya kecenderungannya bergaul dengan yang usianya lebih muda.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.