Sukses

HEADLINE: Menambang Bitcoin, Kadang Untung Bisa Juga Buntung

Bitcoin jadi salah satu model investasi digital yang keberadaannya masih kontroversial.

Liputan6.com, Jakarta - Lutfi (23) tampak asyik menyambung-nyambungkan kabel ke kotak kecil yang tertata rapi di atas rak, Selasa (26 Desember 2017). Siang itu, dia sibuk merakit alat baru untuk menambang uang digital atau cryptocurrency. Salah satunya bitcoin.

Bisnis Lutfi dijalankan dari sebuah gudang kecil berukuran 4 x 6 meter di Sukanegara, Cianjur, Jawa Barat. Walau baru berjalan sekitar 4 bulan, aset yang dia kumpulkan dari para pemodal sudah bernilai ratusan juta rupiah. Sementara omzet per bulan mencapai Rp 14 juta.

“Dari nuyul ini rata-rata perbulan bisa dapat Rp 14 juta-lah,” kata Lutfi kepada Liputan6.com.

Istilah “nuyul” diartikan sebagai aktivitas menambang uang digital. Sebuah fenomena yang marak diperbincangkan di Indonesia juga kancah internasional. Bahkan, banyak orang berbondong-bondong alih profesi jadi penambang uang digital, khususnya bitcoin.

Alasannya, tak lepas dari melonjaknya nilai tukar bitcoin yang mencapai Rp 200 juta per koinnya. Selain itu, nilai tukar beberapa jenis uang digital lain juga turut naik. Makanya, menambang uang digital menjadi bisnis baru yang menggiurkan.

Namun demikian, menurut Lutfi, hingga saat ini masih banyak orang yang gagap dengan aktivitas itu. Bahkan, warga yang tinggal dekat rumah Lutfi pun tidak tahu, bisnis apa yang sebenarnya dia geluti.

“Orang sekitar tahunya warnet,” kata Lutfi sembari tersenyum.

Berbicara cara menambang uang digital, bisa dibilang cukup sederhana. Tentunya, tidak seperti menambang emas atau logam berharga lain yang fisiknya tampak.

Lutfi mengibaratkan, perannya sebagai penambang bitcoin seperti teller bank yang melayani transaksi uang digital dari satu pihak ke pihak lain. Dia diupah ketika berhasil memvalidasi transaksi tersebut.

“Kita memvalidasi pembayaran antara satu pihak ke pihak yang lainnya. Kalau transaksinya sukses, kita dapat reward dalam bentuk koin,” ujarnya.

Sistem itu pun berjalan otomatis. Lutfi hanya perlu menyiapkan komputer, jaringan internet, dan perangkat lunak untuk menambang. Serangkaian alat itu akan bekerja memecahkan persoalan matematis saat proses meraup upah.

Walau begitu, alat yang digunakan untuk menambang mesti berteknologi mutakhir. Dalam hal ini, Lutfi menggunakan 35 sampai 40 VGA card untuk menambang. Harga tiap VGA card berkisar Rp 3,5 juta hingga Rp 14 juta.

“Semakin banyak dan semakin canggih VGA card yang digunakan, hasil tambang yang diperoleh akan semakin besar,” ungkap sarjana ilmu bisnis itu.

Menariknya, semua perihal menambang uang digital atau bitcoin itu Lutfi pelajari autodidak dengan melihat tutorial di laman internet. Awalnya, dia sempat kesulitan. Namun, perlahan kesulitan-kesulitan itu berhasil diatasi. Bahkan, kini Lutfi dapat mengendalikan alat pencetak uangnya itu dari jarak jauh.

“Kalau pas di Jakarta ya biasanya saya remote,” kata Lutfi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sebagian Untung, Sebagian Lagi Tertipu

Istilah bitcoin ataupun uang digital memang masih asing di telinga sebagian orang. Belum lagi, kecurigaan adanya tipu daya seputar harga bitcoin yang bisa melambung tinggi.

Namun tidak bagi Lutfi. Dia optimistis, kelak nilai bitcoin dan beberapa uang digital lain akan semakin meningkat. Setidaknya, selama empat bulan Lutfi mengais rupiah dari menambang uang digital, spekulasi itu telah ia perhitungkan.

“Bitcoin dengan harga Rp 200 juta menurut saya masih masuk akal. Sekarang penduduk di dunia sekitar 7 miliar, sementara suplai bitcoin hanya 21 juta. Mungkin ke depan harganya bisa sampai Rp 500 juta sampai Rp 600 juta,” katanya.

Namun, Lutfi tak menampik jika suatu saat omzet bisnisnya dapat menurun. Misalnya, saat nilai tukar bitcoin di pasaran tiba-tiba anjlok karena faktor eksternal. Salah satunya, ketika peminat uang digital dan bitcoin menurun.

Seperti yang dialami William Sutanto (40), 2014 silam. Kala itu, William harus gigit jari karena nilai tukar bitcoin turun drastis. Di sisi lain bitcoin yang diperoleh semakin sedikit. Alhasil, dia rugi bandar lantaran pengeluaran untuk menambang tak sebanding dengan pendapatan.

“Kita nangis darah saat itu, turun 80%. Jadi ibarat keluar listrik Rp 40 juta dapatnya cuma Rp 5 juta,” kata pria yang akrab disapa Willy itu kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (21/12/2017).

Selama setahun Willy harus mengencangkan ikat pinggang. Baru di akhir 2015 nilai tukar bitcoin kian membaik. Angkanya terus meningkat, bahkan di akhir 2017 nilainya sempat menyentuh Rp 260 juta.

Saat ini, para penambang bitcoin dan penambang uang digital lain sedang berada di puncak kejayaan. Mereka, termasuk Willy meraup untung besar. Bahkan, ada sebagian penambang yang kaya mendadak.

Wajar jika lonjakan itu jadi alasan orang berbondong-bondong investasikan rupiahnya untuk uang digital. “Karena iming-iming untung besar, banyak orang berbondong bondong investasi,” kata Willy.

Namun, fenomena ini malah dimanfaatkan sejumlah penipu untuk meraup untung. Sasarannya, pemain-pemain baru di dunia uang digital yang ilmunya masih cetek.

Willy membeberkan dua bentuk penipuan yang belakangan ini sering terjadi. Pertama, penipuan berkedok investasi uang digital. Sementara yang kedua, lewat penjualan alat menambang tidak sesuai spesifikasi.

Dia menambahkan, pada dasarnya kedua penipuan itu menggunakan modus yang sama. Para penipu itu menjanjikan keuntungan yang besar dalam waktu singkat dari barang atau jasa yang ditawarkan. Padahal jika ditelaah ulang, apa yang ditawarkan tidak masuk akal.

3 dari 4 halaman

Modus Penipu Jerat Korban

Menurut Willy, para penipu yang mengatasnamakan bitcoin atau uang digital lainnya itu tergolong cerdik. Cara kerjanya pun terorganisasi dengan memanfaatkan ketidakpahaman calon korban.

Biasanya, pelaku terlebih dahulu memperkenalkan koin baru miliknya. Setelahnya, mereka lantas menggembor-gemborkan keuntungan besar di kemudian hari layaknya kesuksesan yang dialami bitcoin.

“Ada yang menawarkan keuntungan sehari 1%, referal bonus 10%, dan pairing bonus 10%,” ungkap Willy.

Dia menjelaskan, investasi dengan keuntungan sebesar itu berindikasi penipuan. Terlebih jika uang digital yang ditawarkan tidak terdaftar dalam coinmarketcap.com. Sebuah website yang jadi acuan untuk menilik kredibilitas suatu uang digital.

“Yang terdaftar saja ada yang menipu, apalagi yang tidak,” tegasnya.

Willy mengungkapkan, banyak orang yang jadi korban penipuan dengan modus tersebut. Mulanya memang tampak menguntungkan lantaran keuntungan dari investasi yang sudah dijanjikan ditepati.

Padahal, itu jadi siasat untuk menggaet korban lebih banyak lagi. Ketika investor sudah banyak menggelontorkan rupiahnya, baru uang dilarikan.

Cerdiknya, antara pembuat uang digital palsu dan jasa penukaran uang tersebut seolah tak berhubungan dan tak saling kenal. Sehingga, saat uang dilarikan oleh penyedia jasa penukaran uang, pembuat uang digital palsu itu dapat berkilah jika dimintai tanggung jawab.

“Pembuat koinnya tinggal bilang, saya tidak menipu, bisa dilihat tidak ada buktinya,” kata Willy.

Sementara bentuk penipuan lain yang mengatasnamakan bitcoin dan uang digital lain, penjelasannya lebih sederhana. Oknum penipu memanfaatkan tingginya permintaan alat menambang uang digital. Lalu, menggunakan media jual beli online untuk memasarkan barang dagangannya dan enggan bertemu langsung dengan calon pembeli.

Masalahnya, keterangan tentang alat penambang bitcoin yang tercantum di lapak tidak sesuai dengan fakta. Oknum tersebut hanya menunjukkan hitungan keuntungan yang diperoleh dengan alat itu, tanpa mencantumkan faktor lain yang dapat memperkecil keuntungan.

“Padahal, semakin lama uang digital kan semakin sulit ditambang, otomatis pendapatannya turun. Selain itu, sewaktu-waktu harganya juga bisa anjlok,” kata Willy.

4 dari 4 halaman

Kontroversi Bitcoin

Terlepas dari masalah penipuan, aset digital seperti bitcoin tetap jadi perbincangan kontroversial. Alasannya, belum ada regulasi yang jelas untuk mengatur peredaran bitcoin.

Bank Indonesia (BI) sangat konsisten sejak 2014. BI menyatakan, bitcoin dan uang digital lainnya yang sejenis bukan alat pembayaran yang sah. Untuk itu, segala transaksi yang menggunakan bitcoin dilarang.

“Kita konsisten dari tahun 2014 pertama bahwa bitcoin itu bukan legal tender, bukan alat pembayaran yang sah,” tegas Team Head Bank Indonesia FinTech Office, Yosamartha, Jakarta, Rabu (13/12/2017).

Menurut dia, uang digital seperti bitcoin mempunyai banyak risiko. Pertama, gagalnya transaksi karena tidak semua pembayaran dapat menggunakan uang digital. Kedua, masih sulitnya penukaran bitcoin ke mata uang asli.

“Risiko berikutnya, yakni terkait dengan pencucian uang. Kita tahu bahwa penjahat selalu lebih pintar,” kata Yosamartha sembari tersenyum.

Sementara itu, Direktur Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Fithri Hadi, mengaku masih mempelajari peredaran bitcoin. Dia menambahkan jika, hal yang sama juga sedang dilakukan oleh regulator di sejumlah negara lain.

Untuk saat ini, OJK fokus mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi dan menyiapkan mitigasinya.

“Yang kita takutkan adalah risikonya, bagaimana mengelola risiko,” katanya, Jakarta, Rabu (13 Desember 2017).

Pendapat berbeda diungkapkan pengamat ekonomi Universita Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi. Dia justru melihat fenomena uang digital seperti bitcoin sebagai terobosan untuk sektor perbankan di Indonesia.

Fithra memang tidak menampik jika peredaran bitcoin dan uang digital lain punya risiko. Namun, sistem yang diadopsi bitcoin dapat meningkatkan efisiensi jika sistem itu juga diaplikasikan ke perbankan Indonesia.

“Ini merupakan suatu hal yang bisa diadopsi oleh sistem perbankan nasional. Konstruksi itu dapat membuat ongkos produksi dan transaksi jauh lebih efisien,” kata Fithra Faisal kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (15 Desember 2017).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.