Sukses

HEADLINE: Jurus Berkelit Setya Novanto Berakhir?

Setya Novanto memilih bungkam, diam, menunduk saat menjalani sidang perdananya di Pengadilan Tipikor. Hakim tak lantas bersimpati.

Liputan6.com, Jakarta - Setya Novanto tidak datang dengan kepala tegak untuk menjalani sidang perdana dalam kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor, Rabu siang, 13 Desember 2017. Ia juga tak lantang membantah tuduhan yang dialamatkan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Mantan Ketua DPR itu bungkam, diam, menunduk, menampilkan sosok sebagai korban, dan seakan tak mendengar hakim yang bicara dengan pengeras suara. Ia mengaku sakit parah. Namun, hasil pemeriksaan empat dokter dari RSCM mematahkan dalihnya.

Setya Novanto mengklaim buang air besar sampai 20 kali selama dua hari belakangan karena diare parah. Namun, kata penjaga rutan, ia hanya dua kali ke toilet.

Selama duduk di kursi pesakitan, Setya Novanto selalu tampak lemas dan membisu. Padahal menurut jaksa, ia sudah makan siang dan sebelumnya sanggup berkomunikasi dengan para dokter yang memeriksanya. 

Sikapnya tak mengundang simpati dari majelis hakim yang memutuskan melanjutkan sidang yang beragendakan pembacaan dakwaan itu. Belas kasihan pun tak datang dari publik. Yang muncul justru dugaan bahwa Setya Novanto sedang bersiasat untuk mengulur waktu.

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lola Easter, mengatakan siasat Setnov itu bisa dibaca dari keterangan yang berbeda antara tim dokter dan terdakwa.

"Itu perilaku yang sangat disayangkan. Seharusnya Setya Novanto lebih kooperatif. Di pengadilan, itu adalah kesempatan untuk menunjukkan dia (terlibat atau tidak). Harusnya dia tidak perlu lagi macam-macam membuat-buat alasan," ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu malam.

Lola menduga, sikap Setnov terkait dengan masih digelarnya sidang praperadilan yang memeriksa soal keabsahan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. 

Besar kemungkinan, Setya Novanto masih menjaga asa bahwa hakim akan memutuskan penetapan dirinya sebagi tersangka tidak sah.

Sebelumnya, jalur praperadilan pernah membebaskannya dari status tersangka. Kala itu, ia yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit mendadak sehat. 

"Putusan praperadilan kalau tidak salah dibacakan besok (Kamis). Patut diduga itu untuk mengulur waktu agar sampai pembacaan putusan praperadilan besok," ujar peneliti ICW tersebut.

Lebih dari itu, sikap Setnov di Pengadilan Tipikor pada Rabu kemarin bukan tidak mungkin akan merugikan dia dalam persidangan selanjutnya.

"Sikap tidak kooperatif itu bisa menjadi pertimbangan hakim untuk memberatkan putusan nantinya. Tapi ini kan baru sidang pertama, lihat saja sikapnya nanti," ujar Lola.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Dia mengatakan, pihaknya akan mempelajari sikap Setnov selama di persidangan. Dia juga menuturkan, semua tersangka, termasuk Setnov, berpotensi dihukum maksimal jika tidak kooperatif.

"Semua tersangka punya potensi dihukum maksimal kalau tidak kooperatif atau berbelit-belit," ujar Saut Situmorang saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (13/12/2017).

Menurut dia, mantan Ketua DPR itu dalam kondisi sehat untuk mengikuti sidang dakwaan. Sebab, tim dokter RSCM telah melakukan pemeriksaan, sebelum membawa Setnov ke Pengadilan Tipikor.

"Dokter sudah menyatakan kondisi yang bersangkutan itu sehat, sebabnya sidang lanjut," Saut menjelaskan.

Dia pun merasa heran terkait sikap Setnov yang bungkam saat ditanya majelis hakim. Padahal, dalam hasil pemeriksaan dokter KPK pagi hari sebelum sidang, Setnov bisa berkomunikasi dengan baik.

"Apa latar belakang yang bersangkutan diam? Entar akan bisa tahu, siapa tahu sakit gigi, misalnya," kata Saut.

Di sisi lain, Plt Ketua Umum Partai Golkar, Idrus Marham, berharap JPU KPK tak menyalahkan dan menuding Setya Novanto berbohong.

"Kita menghormati profesi masing-masing. Kita menentukan sikapnya. Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan dan saling menuduh. Biarlah proses berjalan," ujar dia.

Yang jelas, "drama tiga babak" di awal persidangan perdana kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto telah berakhir.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

3 Babak Kebungkaman Setya Novanto

Persidangan perdana kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, yang digelar sejak Rabu siang, 13 Desember 2017, mestinya bisa dijadikan Setya Novanto sebagai momentum untuk membalikkan dakwaan yang dituduhkan KPK. Sayang, kesempatan itu tak diambil mantan Ketua DPR tersebut.

Alih-alih untuk membantah dakwaan, terdakwa kasus korupsi e-KTP itu malah bersikap tidak kooperatif. Misalnya, ketika ketua majelis hakim Yanto menanyakan nama, Setnov hanya diam.

"Bisa mendengarkan pertanyaan saya? Apakah Saudara tersangka bisa mendengar pertanyaan saya?" tanya Yanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12/2017) siang.

Kemudian, majelis hakim kembali bertanya perihal nama, tempat dan tanggal lahir hingga alamat kediaman yang bersangkutan. Setnov tetap diam tak menjawab pertanyaan hakim Yanto.

Menurut keterangan jaksa penuntut umum Irene Putri, Setnov dinyatakan sehat ketika diperiksa kesehatannya oleh KPK. Irene juga mengatakan Setnov telah diperiksa oleh dokter KPK dan tiga orang dokter RSCM yang juga hadir di pengadilan.

"Jam 08.00 tadi pagi. Semua kondisi tadi bagus. Bisa berkomunikasi. Jadi bisa diperiksa," sebut dokter dari KPK, Johannes Hutabarat.

Yanto kemudian mengulang pertanyaan perihal nama berkali-kali. Selama hampir setengah jam, Setnov tidak menjawab pertanyaan tersebut hingga kemudian ia minta izin ke kamar kecil. Sidang pun diskors untuk pertama kali

Skors dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada dokter memeriksa Setnov yang mendadak lesu dan membisu. Tak lama berselang, sidang kembali dibuka lantaran Setnov selesai dari kamar mandi. Saat kembali tiba di ruang persidangan, Setnov terlihat berbisik kepada penasihat hukumnya.

"Nah, tadi saya lihat Anda berbisik dan mengangguk dengan penasihat hukum Saudara. Kalau Saudara tidak bisa (menjawab), ya menggangguk saja," hakim Yanto menyarankan.

Setnov pun akhirnya mengeluarkan suara. Namun, tidak seperti apa yang diharapkan majelis hakim, Setnov malah mengaku sudah lima hari sakit diare.

"Saya lima hari ini sakit diare, minta obat enggak dikasih sama dokter," ujar Setnov di depan majelis hakim.

Penasihat hukum Setnov, Maqdir Ismail, juga menyatakan kliennya itu sakit diare dan sudah 20 kali bolak-balik ke kamar mandi.

Namun, jaksa Irene Putri mengaku pihak dokter KPK sudah memeriksa Setnov dari Rabu pagi sampai pukul 08.30 WIB. Dia menyangka Setnov telah melakukan kebohongan karena mengaku 20 kali bolak-balik ke kamar mandi dengan alasan terkena diare.

"Hari Jumat diperiksa oleh dokter Sinta, keluhannya bukan diare. Soal 20 kali ke toilet, berdasarkan pantauan penjaga Rutan, hanya dua kali, pukul 23.00 malam dan 02.30 pagi," kata Irene.

Setelah mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak, Yanto menyarankan agar Setnov diperiksa kesehatannya terlebih dahulu. Sidang pun ditunda hingga proses pemeriksaan selesai.

"Kebetulan di sini ada klinik, kalau dokter-dokter bawa alat, jadi silakan periksa, sidang akan diskors sampai selesai pemeriksaan," kata hakim Yanto.

Sidang kembali dibuka sekitar pukul 15.00 WIB. Setelah sejumlah dokter menyatakan Setya Novanto sehat, ketua majelis hakim Yanto menyatakan sidang dilanjutkan.

"Sidang kita lanjutkan. Nama lengkap Saudara? Tidak dengar? Pernyataan saya cukup jelas? Benar nama Saudara Setya Novanto? Tempat lahir di Bandung? Tadi sudah dibetulin tanggal lahir 12 November 1962. Jenis kelamin laki-laki. Kebangsaan Indonesia," ujar hakim Yanto.

Mendengar itu, Setya Novanto masih bungkam.

"Pekerjaan Ketua DPR. Mantan ketua fraksi. Pendidikan S1. Betul? Dengar suara saya?" lanjut hakim Yanto.

Setya Novanto masih bungkam.

Hakim anggota lainnya mencoba mengulang pertanyaan Yanto. "Nama lengkap terdakwa? Tanggal tempat lahir apa benar? Kebangsaan Indonesia apa benar?"

Setya Novanto terus membisu.

"Saudara penuntut umum, pas makan siang apakah dia makan siang?"

"Komunikasi tadi sama dokter dan sudah makan siang," jawab jaksa Irene.

Majelis hakim Yanto melanjutkan kembali berbicara dengan Setya Novanto, "Apakah bisa dilanjutkan secara pelan-pelan. Penuntut umum apa bisa dilanjut?"

"Tadi para dokter ahli bilang cukup sehat. Tapi kondisi begitu. Keputusan kami serahkan kepada majelis hakim," kata penasihat hukum.

Hakim Yanto kemudian berkata, "Bagaimana Saudara?"

Setya Novanto masih bungkam sembari terus membungkuk di kursi pesakitan.

Majelis hakim kemudian memutuskan kembali menskors sidang untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan apakah sidang dilanjutkan atau menunggu kesehatan terdakwa pulih.

Saat skors ketiga dicabut dan sidang kembali dibuka, ketua majelis hakim Yanto langsung menyatakan sidang tetap dilanjutkan. Hakim akhirnya mempersilakan jaksa Irene Putri membacakan surat dakwaan.

"Jadi kami, majelis sudah musyawarah. Majelis ingin saudara mendengar dan memperhatikan surat dakwaan," kata hakim Yanto.

Pembacaan surat dakwaan dimulai pukul 17.13 WIB. Padahal, sidang pembaca dakwaan ini sudah dimulai sejak pukul 10.00 WIB.

Dengan dibacakannya surat dakwaan, gugur pula permohonan praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Akhir drama di ruang sidang tak berpihak pada terdakwa.

3 dari 3 halaman

Nama-Nama Besar Disebut dalam Dakwaan

Berkas dakwaan Setya Novanto yang dibacakan jaksa Irene Putri memunculkan banyak nama kondang di negeri ini. Nama mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, misalnya, disebut dalam dakwaan kasus e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto.

"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi, yaitu memperkaya terdakwa dan orang lain, yakni Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Drajat Wisnu, dan Setyawan," ujar jaksa Irene Putri saat membacakan dakwaan, Rabu (13/12/2017) petang.

Gamawan diduga mendapat uang sebesar Rp 50 juta, sebuah ruko di Grand Wijaya, dan sebidang tanah di Brawijaya III. Pemberian ini diduga terkait dengan penetapan pemenang lelang.

Pada 21 Juni 2011, Gamawan menetapkan konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 5.841.896.144.993,00. Penetapan itu ditindaklanjuti dengan menandatangani kontrak pada 1 Juli 2011.

Gamawan pula yang mengusulkan agar proyek e-KTP dibiayai oleh APBN. Dia pun mengirim surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Gamawan meminta untuk mengubah sumber pembiayaan e-KTP yang semula dibiayai pinjaman hibah luar negeri menjadi murni APBN.

Tidak sekali ini nama Gamawan disebut-sebut menerima fee dari kasus e-KTP. Ia juga disebut pada dakwaan pengusaha Andi Narogong dan dua mantan pejabat Dukcapil Kemendagri, Irman serta Sugiharto.

Selain itu, jaksa penuntut umum juga membongkar adanya ajakan kongkalikong dari Setnov ke mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo. Kongkalikong itu dilancarkan Setnov saat bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah tersebut di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali.

Akhir 2010, Ganjar saat itu bertemu Setnov di lounge Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Setnov menyampaikan kepada politikus PDIP itu agar tidak terlalu vokal mengkritisi proyek multi years sebesar Rp 5,9 triliun.

"Terdakwa menyampaikan kepada Ganjar Pranowo agar jangan galak-galak untuk urusan KTP elektronik," kata jaksa Ahmad Burhanudin dalam pembacaan dakwaan.

"Bagimana Mas Ganjar? Soal e-KTP ini sudah beres, jangan galak-galak," ujar jaksa menirukan ucapan Setnov.

Meski demikian, Ganjar tidak banyak merespons ucapan Setya Novanto.

"Oh gitu ya. Saya enggak ada urusan," kata jaksa KPK menirukan ucapan Ganjar dalam dakwaan Setnov.

Kemudian ada nama lainnya, yaitu Andi Agustinus atau Andi Narogong. Dengan nama tersebut, terungkap peran Setnov dalam menyetir megaproyek senilai Rp 5,9 triliun itu.

"Andi Agustinus alias Andi Narogong yang memiliki kedekatan dengan terdakwa mengajak Irman untuk menemui terdakwa selaku anggota DPR RI yang juga selaku Ketua Fraksi Partai Golkar dan dipandang sebagai kunci keberhasilan pembahasan anggaran Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik. Atas ajakan tersebut, Irman menyetujuinya," kata jaksa.

Dalam dakwaan terlihat bagaimana peran Setya Novanto mengatur tiap pertemuan, sementara Andi Narogong dua kali disebut 'memiliki kedekatan' dan pelaksana perintah Setya Novanto.

Hal ini terlihat ketika terdakwa menggelar pertemuan bersama Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni, di awal Februari 2010 sekitar pukul 06.00 WIB, di Hotel Grand Melia.

"Pada pertemuan tersebut terdakwa menyampaikan, 'Di Depdagri akan ada program e-KTP yang merupakan program strategis nasional. Ayo kita jaga bersama-sama'," ujar jaksa.

Dalam dakwaan juga terlihat bagaimana Setnov memberikan kepercayaannya kepada Andi Narogong dalam mengelola proyek e-KTP, termasuk urusan fulus untuk melicinkan proyek.

Andi pernah menemui Setya Novanto di ruang kerjanya di lantai 12 gedung DPR. Turut hadir pula mantan Dirjen Dukcapil Irman. Pertemuan membahas mengenai kepastian proyek. Dia mempertanyakan kesiapan anggaran proyek yang diragukan oleh Irman.

"Perkembangannya nanti hubungi aja Andi," kata jaksa menirukan ucapan Setnov yang ditujukan kepada Irman terkait pelicin proyek.

Lagi-lagi, dalam dakwaan jaksa menuliskan bahwa Andi 'memiliki kedekatan' dengan Setya Novanto.

"Yang mempunyai maksud perkembangannya nanti akan disampaikan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai orang yang memiliki kedekatan dengan terdakwa," ujar jaksa.

Nama lain yang muncul di dakwaan Setnov adalah Drajat Wisnu Setiawan beserta enam orang anggota panitia pengadaan barang dan jasa.

Lalu, Direktur PT Biomorf Lone LLC, Johanes Marliem, Miryam S Haryani, Markus Nari, Ade Komarudin alias Akom, M Jadar Hafsah, dan beberapa anggota DPR RI periode 2009 hingga 2014.

Kemudian, Husni Fahmi, Tri Sampurno, Yimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby beserta tujuh orang Tim Fatmawati, Wahyudin Bagenda, Abraham Mose beserta tiga orang Direksi PT LEN Industri, Mahmud Toha, dan Charles Susanto Ekapradja.

Adapun korporasi yang turut diperkaya adalah Manajemen Bersama Konsorsium PNRI, Perum PNRI, PT Shandipala Arthaputra, PT Mega Lestari Unggul, PT LEN Industri, PT Sucofindo, dan PT Quadra Solution.

"Perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 2,3 triliun," kata jaksa Ahmad Burhanudin.

Kini, setelah dakwaan dibacakan dengan terang-benderang, masih mampukah Setnov berkelit?

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.