Sukses

K'tut Tantri, Suara Lantang di Tengah Pertempuran 10 November

Nama K’tut Tantri barangkali tidak seterkenal Bung Tomo. Namun, jasa-jasanya begitu penting bagi kemerdekaan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Nama K’tut Tantri barangkali tidak seterkenal Bung Tomo. Namun, jasa-jasanya begitu penting bagi kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan salah satu tokoh pada pertempuran 10 November di Surabaya. Wanita dengan julukan "Surabaya Sue" atau penggugat dari Surabaya ini tidak berperang dengan bambu runcing atau parang. Tantri melawan melalui siaran Radio Pemberontakan hingga menggalang dukungan di Australia.

K'tut Tantri lahir di Glasgow, Skotlandia, pada 18 Februari 1899 dengan nama asli Muriel Stuart Walker. Setelah Perang Dunia I, bersama ibunya, ia pindah ke California, Amerika Serikat. Tantri memutuskan pindah ke Bali pada 1934 setelah ia menonton film berjudul Bali, The Last Paradise.

Di Bali, Muriel diangkat sebagai anak oleh raja setempat bernama Anak Agung Nura. Muriel lalu mengubah namanya menjadi K'tut Tantri yang mempunyai arti "anak keempat".

Setelah Jepang mendarat di Bali, ia melarikan diri ke Surabaya, Jawa Timur, dan bergabung dengan para pejuang kemerdekaan di sana. Tantri kemudian tinggal di studio Radio Pemberontakan Surabaya.

“Aku diharapkan akan mengadakan siaran dua kali semalam, dalam bahasa Inggris. Tujuan tugasku untuk menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia pada bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris di seluruh dunia, dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia,” tulis Tantri dalam autobiografinya Revolusi di Nusa Damai (2008).

Kala itu, banyak negara berbahasa Inggris masih mengira bahwa pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan boneka Jepang. Dengan siaran itu, Tantri diharapkan dapat mengingatkan bangsa Inggris dan Amerika, pada negarawan-negarawan mereka yang pernah menyuarakan kemerdekaan semua bangsa semasa perang.

Di Radio Pemberontakan itulah Tantri juga bertemu dengan Bung Tomo. Selain melakukan siaran radio, Tantri juga melukis spanduk-spanduk serta poster-poster untuk para pejuang kemerdekaan.

Beberapa hari setelah bergabung dengan Radio Pemberontakan, terjadi penyelundupan tentara-tentara Belanda oleh Inggris. Berkat siaran radio Tantri, pihak Indonesia memperketat pengawasan pelabuhan. Tak lama, pertempuran pun pecah. Meski tak seimbang, tentara Indonesia bisa bertahan karena sudah bersiap sebelumnya.

Di lain sisi, terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby membuat Inggris melancarkan ultimatum agar pihak Indonesia menyerah. Meski demikian, ultimatum tersebut tidak ditanggapi Indonesia. Peristiwa 10 November 1945 pun terjadi, bom-bom dijatuhkan oleh Inggris ke bumi Surabaya.

Tantri sedang berada di dalam studio Radio Pemberontakan ketika Inggris menjatuhkan bom-bom selama tiga hari tiga malam. Seorang staf India tewas, sedangkan dia dan satu pegawai selamat dari serangan itu. Peristiwa itu merenggut ratusan korban tewas dari pihak Indonesia. Pasca-pengeboman, Tantri langsung siaran untuk memprotes serangan Inggris tersebut.

"Perwakilan Denmark, Swiss, Uni Soviet, dan Swedia. Kuminta mereka menyertai aku dalam siaran malam itu untuk memprotes tindakan pengeboman serta menyatakan sikap mereka mengenai tindakan Inggris," jelas Tantri dalam autobiografinya itu.

Siaran itu mendapat respons bagus di luar negeri. Pemancar-pemancar berbagai negara mengutip dan meneruskan siaran tersebut. Koran-koran juga memuat berita dari siaran Tantri.

Sehari setelah itu, Radio Pemberontakan di Surabaya tutup dan pindah ke Bangil, yang mengudara lagi dengan siaran berbahasa Inggris.

Suatu malam, siaran radio yang dikuasai Belanda mengumumkan bahwa dijanjikan hadiah 50 ribu gulden pada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K’tut Tantri ke markas tentara Belanda.

Tantri pun melakukan siaran balasan. Dia menyeru ke pemancar Belanda yang baru saja menyiarkan pengumuman itu, sambil menyebutkan namanya.

“Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia. Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian,” kata Tantri dalam siaran radio balasannya.

Siaran itu dikutip radio-radio di Jawa dan tawaran uang dari Belanda menjadi bahan tertawaan.

 

Saksikan vidio pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menggalang Dukungan

Perjuangan Tantri tidak sampai di situ. Ia juga punya peran penting terkait pengakuan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia. Tantri pergi ke Australia tanpa paspor untuk menggalang dukungan dari Negeri Kanguru itu.

“Aku juga berbicara lewat radio. Aku berbicara di depan rapat kaum wanita anggota Partai Demokrat Australia, di depan Perhimpunan Kaum Ibu Rumah Tangga, serta berbagai organisasi wanita lainnya,” tulis Tantri.

Di Australia, informasi soal keadaan Indonesia didominasi oleh Belanda. Karena itulah, Tantri ingin agar Australia mendapat informasi dari sudut pandang Indonesia.

“Orang-orang Belanda yang merasa getir dan dilanda frustrasi sengaja memberi informasi yang salah tentang Indonesia pada kalangan umum di Australia. Dan tidak ada orang Indonesia yang terkemuka di sana, yang bisa menanggapi propaganda keji itu," terang Tantri.

Tantri mendatangi kampus-kampus dan melakukan ceramah terkait perjuangan bangsa Indonesia. Ia menyerukan agar rakyat Australia mau mendukung Indonesia. Warga Australia pun banyak yang bersimpati dan mau membantu.

“Kalian, mahasiswa Sydney University, bisa mengadakan pawai ke konsulat Belanda di kota ini. Kalian mengajukan suatu petisi, memprotes agresi Belanda di Indonesia. Kalian bisa juga mengirim telegram pada Perdana Menteri Australia, dengan permintaan agar ia mengajukan persoalan Indonesia ke depan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa,” jelas Tantri ketika berceramah di Sydney University, Australia.

Pawai itu pun benar dilakukan. Para mahasiswa mendatangi konsulat Belanda dan memprotes agresi militer Belanda. Demo berhasil membuat persoalan Indonesia dibahas di forum internasional.

“Pawai protes itu diawali dengan tertib. Tetapi campur tangan polisi yang datang karena dipanggil Belanda, mengubahnya menjadi huru-hara. Peristiwa itu ternyata membawa akibat yang merugikan Belanda,” tulis Tantri.

Perjuangan Tantri masih berlanjut, ia terus menggalang suara untuk kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga untuk membebaskan beberapa mahasiswa yang ditahan usai demo.

“Aku mengadakan serangkaian ceramah di depan berbagai kelompok pengusaha serta organisasi-organisasi serikat buruh, begitu pula di depan Angkatan Bersenjata Australia, dengan maksud mengumpulkan dana bantuan hukum bagi para mahasiswa yang ditahan. Pengadilan kemudian membebaskan mereka dari tuduhan,” tulis Tantri.

Selama di Australia, Tantri juga banyak mendapat ancaman, tuduhan serta fitnah. Ia juga pernah di tawari uang oleh Belanda agar mau kembali ke Amerika atau Inggris.

“Kami bersedia membayar 100 ribu gulden, apabila Anda mau dengan segera pergi dari Australia ke Amerika atau Inggris, dan tidak ikut-ikut lagi dalam urusan Indonesia," tulis Tantri menirukan tawaran orang Belanda itu.

Tawaran itu membuat dia sakit hati. Tentu saja Tantri menolak, ia mengusir orang Belanda itu dari tempat tinggalnya di Australia.

Di Australia, nama K'tut Tantri memenuhi media-media massa sejak awal kedatangannya. Media massa di negara ini pula yang kemudian memberinya julukan Surabaya Sue atau Penggugat dari Surabaya. (Andri Setiawan)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.