Sukses

KPK Nilai Gugatan Setya Novanto Salah Materi

KPK menilai praperadilan bukanlah tempat untuk menguji cukup atau tidaknya alat bukti bagi tersangka kasus e-KTP Setya Novanto.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai praperadilan bukanlah tempat untuk menguji cukup atau tidaknya alat bukti bagi tersangka kasus e-KTP Setya Novanto. Hal tersebut dinilai sudah masuk pada pokok materi perkara.

Ketua Biro Hukum KPK Setiadi mengatakan praperadilan hanya menguji syarat formil.

Ini berkaitan dengan apa yang disampaikan Setya Novanto melalui kuasa hukumnya. Mereka menyebut KPK tidak mempunyai alat bukti cukup dan hanya memiliki bukti dari sidang e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

"Ruang lingkup praperadilan tidak boleh masuk pokok perkara, karena meneliti cukup tidaknya alat bukti tugas penuntut umum," kata Setiadi dalam lanjutan persidangan gugatan praperadilan Setya Novanto di PN Jaksel, Jumat (22/9/2017).

Menurut dia, seharusnya hal itu disampaikan pemohon di Pengadilan Tipikor. Keberatan tersebut, lanjut dia, bisa dimasukkan sebagai bahan pledoi untuk pertimbangan majelis hakim.

"Dalil permohonan telah memasuki pokok perkara. Harusnya disampaikan di pengadilan tipikor sebagai hak pemohon mengajukan pembelaan atau pledoi," tegas Setiadi.

Persidangan siang ini diskors karena harus melaksanakan ibadah salat Jumat. Sidang praperadilan Setya Novanto kemudian dilanjutkan pukul 13.30 WIB dengan mendengarkan jawaban KPK terhadap apa yang disampaikan pemohon.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tuding KPK

Pengacara Setya Novanto, Agus Trianto, menilai KPK tidak memiliki dua alat bukti yang cukup ketika menetapkan Ketua DPR itu sebagai tersangka dalam kasus e-KTP. KPK, kata dia, hanya memiliki bukti dari sidang perkara e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

"Termohon (KPK) hanya pinjam alat bukti perkara pidana orang lain atas nama Irman dan Sugiharto, sehingga cacat hukum. Secara yuridis, alat bukti tidak bisa dipakai untuk perkara lain," ujar Agus dalam sidang sebelumnya.

Undang-undang, kata Agus, mengatur penetapan tersangka harus mengumpulkan alat bukti dan melakukan pemeriksaan kepada sejumlah saksi di tingkat penyidikan. Namun, dalam penerapan tersangka Novanto, tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) kegiatan penyidikan dan KUHP.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.