Sukses

MK Tolak Pengalihan Kewenangan Pengelolaan Panas Bumi ke Pemda

Makmah Konstitusi menilai kewenangan pengelolaan panas bumi sudah tepat berada di pemerintah pusat.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan DPRD provinsi terhadap UU tentang Panas Bumi dan UU tentang Pemerintah Daerah.

"Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat, dalam persidangan MK, di Jakarta, Rabu (20/9/2017). Hal ini disampaikan MK saat membacakan putusan perkara 11/PUU-XIV/2016.

Pemprov Jawa Timur melakukan gugatan agar bisa mengambil langsung pemanfaatan energi panas bumi. Selama ini kewenangannya terletak di pemerintah pusat.

Adapun norma pasal yang dipersoalkan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2). Juga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Pada pertimbangannya, MK menyatakan posisi pemerintah pusat dalam memanfaatkan energi terbaru atau dalam hal ini panas bumi, tergambarkan dengan jelas. Selain itu, Pasal 13 UU Pemda, telah memuat kriteria kewenangan pemerintah pusat.

"Sehingga dalam kaitan ini, panas bumi memenuhi kriteria tersebut sehingga tepat menjadi kewenangan pemerintah pusat," kata hakim Anwar Usman.

Menurut Hakim MK, pemberian kewenangan kepada pemerintah pusat sudah mempertimbangkan potensi konflik yang timbul bila hal itu dikelola pemda.

"Sementara pemerintah tengah berupaya keras menjamin ketahanan energi nasional yang pada masa yang akan datang sangat bergantung pada kemampuan memanfaatkan keberadaan energi baru terbarukan, termasuk panas bumi," jelas hakim Anwar Usman.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tolak Gugatan Soal Kayu Sitaan

Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak gugatan yang diajukan Sosiolog Imam Prasodjo, Andy F Noya, Sarwin, dan Rulany Sigar terkait Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Pada permohonannya, Imam Prasodjo dan lainnya melihat Pasal 44 ayat (1) membuat kayu temuan dan sitaan, tidak bisa digunakan untuk keperluan pembangunan fasilitas sosial atau publik. Karena berdasarkan pasal tersebut haruslah dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan perkara dan penelitian.

"Permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat, dalam persidangan, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/9/2017).

Dalam pertimbangannya, hakim menilai dalam Pasal 44 ayat (1) juga menyatakan, adanya fungsi pengawasan negara yang tidak terlepas dari mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga tidak tepat jika dinilai sebagai perbuatan mubazir.

"Melainkan harus dilihat dari persepektif yang lebih luas, yaitu fungsi hutan konservasi itu sendiri," kata Hakim Aswanto.

Karenanya, MK tidak menemukan alasan untuk menyatakan bahwa Pasal 44 ayat (1) tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Meski begitu, niat pemohon mendapat pujian.

"Mahkamah sungguh menghargai dan memberi apresiasi terhadap niat mulia yang terkandung dalam permohonan a quo yang hendak memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar untuk kepentingan sosial, dalam hal ini khususnya untuk kepentingan pendidikan," kata Hakim Aswanto.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.