Sukses

Tragedi Pilu Etnis Rohingya

Kekejaman tentara Myanmar menyebabkan sekitar 150 ribu etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan ratusan lainnya dilaporkan tewas.

Liputan6.com, Jakarta - Krisis kemanusiaan di Myanmar menuai kecaman dari berbagai negara, termasuk di Tanah Air. Kekejaman tentara Myanmar menyebabkan sekitar 150 ribu etnis Rohingya mengungsi menuju negara tetangga Bangladesh dan ratusan lainnya dilaporkan tewas. Tidak ada pilihan bagi mereka.

Balita dan anak-anak pun terpaksa digendong untuk menyeberangi sungai demi mencari keselamatan. Demikian pula mereka yang sudah berusia lanjut.

Dalam pelarian, banyak di antara pengungsi Rohingya, terjebak di perbatasan. Tanpa makanan, air dan obat-obatan. Salah satunya Ayesha Begum, yang melarikan diri dalam keadaan hamil. Ayesha bahkan melahirkan di sawah dalam perasaan takut.

Banyak di antara pengungsi yang harus meregang nyawa sebelum sampai ke Bangladesh. Kafayet Ullah dengan sekuat tenaga membopong jenazah salah satu kerabatnya, Jarullah Ullah yang tewas dibunuh tentara Myanmar.

Ia paham benar bahwa melarikan diri sambil membawa jenazah adalah risiko besar. Namun Kafayet tidak tega meninggalkan jenazah saudaranya dan sengaja dibawa agar bisa dikebumikan dengan baik.

Setelah harta bendanya dirampas, rumah-rumah yang ditinggalkan etnis rohingnya dibakar. Menurut salah satu penduduk Desa Shwe Bajo, Rakhine Utara, polisi dan kelompok agama garis keras sebagai pelaku pembakaran itu. Selain rumah, mereka juga membakar sekolah dan tempat ibadah.

Etnis Rohingya tinggal di negara bagian Arakan atau Rakhine di barat Myanmar dengan populasi sekitar 1 juta orang. Pada awal kemerdekaan etnis Rohingya diakui sebagai warga negara Myanmar yang saat itu bernama Burma. Tetapi sejak tahun 1982 Rohingya tidak diakui sebagai warga negara.

Berdasarkan undang-undang, warga negara Myanmar adalah etnis yang tinggal secara permanen sebelum 1823. Menurut junta militer Myanmar, Rohingya datang setelah itu. Padahal sejumlah literatur menyebutkan etnis Rohingya sudah tinggal di Rakhine sejak abad ke 16, bahkan ada yang menyebut sejak abad ke-7 masehi.

Simak ulasan selengkapnya dalam Komentar Pilihan Liputan 6 Pagi (Kopi Pagi) dalam tautan video di atas.