Sukses

Marisi Matondang Dituntut 4 Tahun Penjara dalam Kasus Suap Alkes

Jaksa KPK mendakwa Marisi Matondang merekayasa proses pengadaan alat kesehatan RS PKIP Unud dan merugikan negara Rp 7 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut terdakwa korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) RS Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana (RS PKIP Unud) Marisi Matondang dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.

"Menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama," kata jaksa Ronald Worotikan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2017).

Adapun hal yang memberatkan, Direktur PT Mahkota Negara itu tidak mendukung pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi. Marisi juga terbukti ikut serta dan bersama-sama dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan RS PKIP Unud yang diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 7 miliar.

Meski begitu, jaksa juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Antara lain Marisi dianggap telah bertindak sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator.

Sebelumnya, jaksa KPK mendakwa Marisi Matondang telah merekayasa proses pengadaan alat kesehatan RS PKIP Unud. Dia diduga menguntungkan perusahaannya Rp 5,4 miliar dan merugikan negara Rp 7 miliar dari proyek senilai Rp 18,5 miliar tersebut.

"Mendakwa Marisi Matondang telah merugikan negara setidak-tidaknya Rp 7 miliar," ujar jaksa Ronald Ferdinand Morotkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (8/5/2017).

Ia menjelaskan, terdakwa bersama Made Maregawa dan Muhammad Nazaruddin melakukan atau turut serta melakukan perlawanan terhadap hukum. Marisi Matondang telah mempengaruhi Made sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK), untuk memenangkan perusahaannya dalam proses pengadaan alkes di RS Universitas Udayana.

Proses Tender yang Diatur

Perusahaan yang berdiri di bawah Permai Group (atau Anugerah Group) milik Muhammad Nazaruddin ini, mengatur pengadaan mulai dari penyusunan surat harga penawaran (SHP) dari sejumlah perusahaan yang sengaja diikutsertakan, hingga ke penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS).

Proses evaluasi penawaran dan berita acara serah terima juga dibuat fiktif agar anggaran dapat cair. Pengaturan ini sudah dimulai sejak sekitar Januari 2009. Muhammad Nazaruddin dan perusahaan di bawah kendalinya itu, mengusahakan sejumlah perusahaannya agar bisa ikut tender.

Sejumlah tim yang dibentuk Nazaruddin kemudian berkomunikasi dengan pihak Universitas Udayana Made Maregawa dan I Dewa Putu Sutjana (Pembantu Rektor Universitas Udayana). Spesifikasi dan vendor penyuplai mulai disusun setelah pengadaan alkes masuk ke dalam anggaran.

Made menyusun HPS berdasarkan spesifikasi Alkes agar mengarah ke vendor tertentu. Vendor yang disebutkan dalam dakwaan sudah menjadi rekanan perusahaan Marisi. Dalam proses tender, Marisi meminjam sejumlah perusahaan untuk diikutsertakan dalam lelang.

"Terdakwa menyarankan kepada Muhammad Nazaruddin agar nantinya perusahaan yang ditetapkan sebagai pemenang adalah PT Mahkota Negara," kata jaksa KPK.

Sanggahan hasil lelang dilayangkan sejumlah perusahaan. Namun Made menyatakan proses lelang sudah sesuai prosedur.

Perusahaan Marisi pun mendatangkan barang yang dibelinya dengan diskon hingga 40 persen dalam proses pengadaan. Padahal perusahaan Marisi tidak memiliki barang yang dibutuhkan RS Universitas Udayana.

Anak buah Muhammad Nazaruddin itu didakwa KPK melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3, jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.


Saksikan video menarik berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.