Sukses

Yusril: Ambang Batas di Pilkada Serentak Tidak Relevan

Yusril menilai, jika pemerintah tetap memaksa adanya ambang batas, maka akan rawan gugatan.

Liputan6.com, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) kembali menunda pengambilan keputusan terhadap lima isu krusial. Salah satu dari lima isu tersebut adalah presidential threshold atau ambang batas pada proses pencalonan Presiden.

Pemerintah masih pada keputusannya yakni ambang batas presiden pada angka 20% kursi di Pileg dan 25% suara sah nasional. Bahkan jika deadlock, maka bisa diambil voting atau kembali ke UU sebelumnya.

Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, masalahnya tidaklah sederhana seperti dipikirkan. Sebab, UU pemilu yang lama masih memisahkan pelaksanaan Pileg dan Pilpres.

Dia menuturkan, karena Pileg dilaksanakan lebih dulu, maka ambang batas kursi atau perolehan suara yang diperoleh masing-masing parpol dalam Pileg dijadikan acuan untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Namun hal ini berbeda jika pemilu digelar secara serentak.

"Nah, kalau Pemilu dilaksanakan serentak, Pileg dan Pilpres dilaksanakan pada hari yang sama, maka perolehan kursi partai di DPR juga belum ada. Kalau belum ada, bagaimana caranya menentukan ambang batas 20% yang diinginkan Pemerintah itu. Jelaslah bahwa dalam pemilu serentak, membicarakan ambang batas itu tidak relevan sama sekali," kata Yusril dalam keterangannya, Jumat (16/6/2017).

Menurut dia, usul ini tidak beralasan. Ada banyak alasan, di antaranya, ambang batas itu sudah digunakan dalam Pilpres yang lalu. Kedua, dalam lima tahun, peta kekuatan politik sudah berubah, karena itulah ada pemilu yang baru untuk menampung peta yang berubah itu.

Dia menilai, jika pemerintah, tetap memaksa adanya ambang batas, inipun rawan. Karena, bisa saja digagalkan oleh MK, jika ada yang menggugatnya.

"Sebab, MK sendirilah yang memutuskan pemilu serentak itu. Sementara logika Pemilu serentak adalah tidak adanya ambang batas sebagaimana substansi Pasal 22 E UUD 45 yang mengatur Pemilu," jelas Yusril.

Dia berpandangan, kalau ambang batas pencalonan Presiden masih ada dalam Pemilu serentak, maka UU yang mengaturnya, jika melihat pada Putusan MK tentang Pemilu serentak adalah inkonstitusional. Undang-undang yang inkonstitusional, jika dijadikan dasar pelaksanaan Pilpres, akan melahirkan Presiden yang inkonstitusional juga.

"Ini akan berakibat krisis legitimasi bagi Presiden yang memerintah nantinya," kata Yusril.

 

Tonton video menarik di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sama Seperti 2014

Yusril menuturkan, dengan hanya tiga partai, PDIP, Golkar, dan Nasdem yang menyetujui adanya ambang batas, ini bisa melahirkan pasangan capres tunggal atau koalisi tunggal.

"Kalaupun akan ada pasangan lain, maka kemungkinan hanya akan ada 1 pasangan lagi. Jadi calon dalam Pilpres 2019 kemungkinan akan sama dengan calon Pilpres 2014. Perbedaan, paling hanya pada calon Wapres saja. Keadaan ini tentu tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi di negara kita," tegas Yusril.

Dia meminta, biarkan semua pihak melaksanakan ketentuan Pasal 22E UUD 45 dengan konsisten sebagaimana telah ditafsirkan dalam Putusan MK berkaitan dengan Pemilu serentak yang wajib dilaksanakan dalam Pemilu 2019 nanti.

Jika, pasal dan Putusan MK sudah terang benderang maksudnya, janganlah Pemerintah, PDIP, Golkar dan Nasdem serta partai lain masih sibuk saja mencari dalil-dalil untuk membenarkan adanya ambang batas parlemen bagi parpol atau gabungan parpol dalam mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, jika memang tidak bisa musyawarah memang bisa melalui voting. Tapi, jika ini memang tidak ada kesepakatan di voting, maka kembali ke undang-undang lama.

"Kalau tidak musyawarah dan voting, pemerintah akan ajukan opsi kembali ke undang-undang lama," kata Tjahjo.

Menurut dia, dengan adanya ambang batas, pemerintah mendorong peningkatan kualitas Capres maupun Cawapres. Kemudian, politikus senior PDIP ini menegaskan, dengan adanya hal tersebut, jelas memperkuat sistem pemerintahan sekarang.

"Presidential threshold memastikan bahwa Presiden/Wapres yang terpilih telah memiliki dukungan minuman parpol atau gabungan di parlemen. Sehingga presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan Presidensiil," pungkas Tjahjo.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.