Sukses

KPK dan Lika-Liku Aliran Suap Patrialis Akbar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berhenti menelisik indikasi aliran dana ke pihak lain terkait kasus suap hakim MK Patrialis Akbar.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berhenti menelisik indikasi aliran dana ke pihak lain terkait kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar. Penyidik pun menelusurinya dari sejumlah pintu.

"Penyidikan masih sama, baik yang memberi maupun menerima tapi kami dalami lebih lanjut ketika ada info-info indikasi aliran dana pada pihak lain karena ini bagian yang tidak terpisahkan," tutur Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Selasa 9 Mei 2017.

Menurut dia, KPK tengah menelusuri informasi adanya aliran dana ke pihak lain di luar MK. Ini terkait dengan penggeledahan di kantor Ditjen Bea Cukai pada 6 Maret 2017.

"Apakah ada atau tidak indikasi aliran dana ke Bea Cukai, itu masih didalami. Informasi awal terkait hal itu, untuk pemeriksaan sebagai saksi yang jadi tahanan di KPK ada kondisi tertentu penyidik buth cepat untuk konfirmasi," ujar Febri.

Sebelumnya, Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Grand Indonesia bersama seorang wanita. Dia diduga menerima suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, KPK juga ikut mengamankan Kamaludin (KM) yang diduga sebagai perantara suap.

Patrialis disangka menerima suap dari Basuki Hariman dan NG Fenny (NGF). Basuki merupakan bos pemilik 20 perusahaan impor daging, sedangkan NGF adalah sekretarisnya.

Basuki menjanjikan Patrialis Akbar uang sebesar US$ 20 ribu dan 200 ribu dolar Singapura. Uang tersebut diduga merupakan penerimaan ketiga.

Sebagai penerima suap, Patrialis dan Kamaludin dijerat dengan Pasal 12 Huruf C atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2000 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara Basuki dan NG Fenny sebagai pemberi suap, KPK menjerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.