Sukses

Vonis Infotainment

Selain mengeluarkan fatwa haram, MUI juga meminta KPI untuk membuat regulasi untuk mencegah tayangan infotainment yang bertentangan dengan norma dan kesusilaan sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi yang bermutu.

Liputan6.com, Jakarta: Akhir tahun lalu, Persatuan Wartawan Indonesia seksi infotainment melaporkan presenter dan model Luna Maya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Laporan itu merupakan dampak dari penghinaan Luna terhadap awak infotainment melalui akun Twitter-nya.

Sebelumnya, pacar Ariel "Peterpan" itu kesal terhadap wartawan yang mengerubunginya di sebuah acara. Kepala Alea, putri Ariel, yang saat itu di gendongan Luna terbentur kamera wartawan.

Persoalan itu tidak berhenti sebatas hubungan aksi dibalas reaksi, reaksi dibalas reaksi lain, dan reaksi lain dibalas reaksi-reaksi berikutnya. Polemik seputar infotainment ikut menyeruak. Bahkan, mengubah framing kasus menjadi penghujatan berbagai kalangan terhadap awak infotainment!

Grup yang menamakan diri "Dukung Luna Maya Lawan Arogansi Infotainment" di situs Facebook, misalnya, mendorong infotainment-infotainment untuk lebih bersikap manusiawi, memahami kode etik, dan tidak arogan dalam mencari serta menyampaikan berita seputar selebritas.

Diam-diam, perseteruan Luna Maya dan awak infotainment, termasuk laporan PWI Jaya ke Mapolda Metro Jaya, menguap. Hingga kini, tidak ada lagi kabar baru yang menjadi klimaks konflik tersebut. Baik Luna maupun PWI Jaya seakan sepakat untuk sama-sama melupakan hubungan tak harmonis itu.

Munculnya kasus video porno yang diduga dimainkan Ariel "Peterpan", Luna Maya, dan Cut Tari, melalui layar-layar infotainment ternyata tidak "bergulir" seperti biasanya. Sempat tersiar isu dendam awak infotainment terhadap Luna Maya hingga mem-blow up kasus itu besar-besaran. Padahal tanpa dilampiri isu itu pun, awak infotainment senantiasa "bergairah" mem-framing wilayah pribadi itu secara sukacita.

"Kami melayangkan teguran kepada 11 lembaga penyiaran dan sebagian besar di antaranya adalah infotainment. Hampir semua program itu kami tegur," kata Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Dadang Rahmat Hidayat di Jakarta, Sabtu (12/6). "Sangat disayangkan beberapa lembaga penyiaran melalui program-program tertentu tetap penayangkan video cabul mirip artis tersebut secara vulgar dan provokatif."

Dadang menegaskan, pihaknya tidak akan segan-segan memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran yang tetap menyiarkan video cabul secara vulgar dan provokatif sampai sanksi terberat, yakni penutupan program siaran hingga pemidanaan.

Pertemuan KPI dan Komisi I DPR awal Juli lalu menghadirkan wacana baru tentang infotainment. Bahwa program dikategorikan sebagai tayangan nonfaktual hingga harus disensor. "Infotainment memang tidak dapat dikategorikan berita. Wajar jika ada sensor," ujar anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Tantowi Yahya.

Tantowi merinci data yang disampaikan KPI selama rentang Januari hingga Juni 2010 soal 490 keluhan tayangan dari masyarakat. Dari jumlah itu, katanya, 80 persen di antaranya ditujukan untuk tayangan infotainment.

"Jadi masyarakat resah dengan kehadiran infotainment belakangan ini yang tak lagi mengindahkan kaidah dan kode etik jurnalistik," tegas Tantowi.

Seperti biasa, reaksi pro dan kontra pun bermunculan.

"KPI sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menegur dan memberikan sanksi apa pun," kata Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Marah Sakti Siregar. "Sejak 2005, PWI Pusat telah memberi pengakuan infotainment adalah karya jurnalistik. Pekerjanya juga diakomodasi sebagai anggota PWI."

Jauh sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menolak keberadaan infotainment sebagai bagian dari ranah jurnalistik. AJI juga mempertanyakan cara-cara mengumpulkan dan menyajikan informasi yang dengan sengaja melanggar kode etik jurnalistik. Misalnya menerima atau memberi suap, menjiplak karya wartawan lain, mengganggu kenyamanan narasumber, dan mengaduk kehidupan pribadi narasumber yang tidak terkait kepentingan umum.

Gong pamungkas atas polemik yang tak berkesesudahan itu ditabuh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI di Jakarta, Selasa (27/7). Satu dari tujuh fatwa yang diterbitkan: haram untuk infotainment baik bagi yang menayangkan, menonton maupun mengambil keuntungan dari aib, gosip dan hal-hal lain terkait pribadi.

Fatwa haram MUI terhadap berita-berita gosip di media massa dikeluarkan dengan mempertimbangkan banyaknya konten berita yang melampaui batas norma agama dan kesusilaan di masyarakat. MUI juga meminta KPI untuk membuat regulasi untuk mencegah tayangan infotainment yang bertentangan dengan norma dan kesusilaan sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi yang bermutu.

Lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali. Tahun lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bagi tayangan infotainment yang mengumbar fitnah, dan membongkar aib orang lain. Namun demikian, fatwa ini hanya berlaku untuk warga NU dan tak bersifat mengikat.

MUI memang berbeda dengan NU. MUI merupakan wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia, tanpa sekat-sekat partai, golongan, aliran, atau simbol-simbol budaya. Sedangkan NU merupakan organisasi Islam yang kerap diartikan sebagai wadah kaum muslim tanpa "persyaratan" ulama--padahal kata "nahdlatul ulama" berarti "kebangkitan ulama".

Artinya, "wibawa" MUI dengan fatwa-fatwanya menjadi acuan sebagian besar kaum muslim di Tanah Air. Sedangkan, fatwa-fatwa ulama NU masih menjadi acuan bagi kaum muslim di organisasi itu saja. Lantaran itulah, fatwa MUI tentang infotainment itu pun menjadi hukum baru bagi kaum muslim di Tanah Air.

Sebagai fatwa, vonis itu tentu tak lagi "seringan" gempuran para facebooker, para penganut "aliran" wacana kritis, anggota Dewan, atau KPI. Kali ini, vonis atas ghibah-ghibah itu sudah jelas dan hanya bisa dibantah dalil-dalil agama lain yang lebih kuat. Dan, tentu saja, diterbitkan lembaga sekelas MUI juga--kalau ada.

KPI sebagai lembaga yang berkepentingan mengawasi pelaksanaan dunia penyiaran di Tanah Air memberikan isyarat "positif" atas fatwa itu. "Tapi KPI tidak berniat menutup infotainment. Mungkin kita akan meminta agar konten diperbaiki. Jam tayang juga akan diubah," kata Koordinator Bidang Isi Siaran KPI Pusat Ezki Suyanto.

Artinya, komisi tidak ikut mengharamkan infotainment, tapi memposisikannya dalam posisi halal yang disertai catatan. Sikap itu tentu menjadi situasi yang "menggoda" bagi kaum muslim: mematuhi atau tidak mematuhi fatwa itu, atau tidak menjadi penonton atau tetap menjadi penonton program itu?

Yang pasti, pertanyaan sederhana tersebut bisa menjadi penutup (yang mungkin tidak menarik) atas polemik seputar infotainment: jurnalistik atau bukan, yellow journalism atau bukan, faktual atau bukan, objektif atau subjektif, serta jabaran-jabaran metafora media, agenda setting, etika komunikasi, hingga media culture di belakangnya. Karena, buat apa lagi?(SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini